SYEKH AKBAR IBNU ARABI
Abu Bakar Ibnu al-'Arabi (
Arab:
أبو بكر بن العربي) atau
Ibnul Arabi adalah seorang imam
sunni,
qadi dari mazhab Maliki pada masa
Spanyol Islam. Ia dilahirkan di
Sevilla pada tahun 1076 M dan meninggal di
Fez, Maroko pada 1148 M.
[1]
Ayahnya yang bernama Abu Muhammand ibn al-'Arabi merupakan pejabat
tinggi untuk Khalifah Taifa di Sevilla. Ayahnya juga merupakan salah
seorang murid dari
Ibnu Hazm.
Saat ia berusia 9 tahun, ia dan ayahnya terpaksa bermigrasi ke luar
negeri pada tahun 1901 untuk menghindari kekacauan politik ketika
Andalusia dikuasai oleh dinasti
Al-Murabithun.
Keduanya naik kapal laut ke Mesir lalu menuju Yerusalem dan menetap di
sana sepanjang 1093-1096. Kemudian keduanya pindah ke Damaskus dan
Baghdad untuk menuntut ilmu agama (
rihlah) yang mana Ibnul Arabi sempat belajar kepada
Imam Ghazali.
Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1099 di umur 57 tahun, Ibnul Arabi
yang telah berumur 26 tahun kembali ke Sevilla untuk mulai mengajar
sehingga kemudian menjadi ulama yang terpandang di sana
Muhyiddin, yang secara literal berarti orang yang menghidupkan agama
.
Ayahnya bernama Ali bin Ahmad bin Abd Allah. Dalam 30 tahun
sejak kelahirannya dia tinggal di negerinya dan mengaji keilmuan Islam
tradisional secara bandongan pada sejumlah ulama terkemuka pada masanya.
Kepada mereka Ibnu Arabi belajar al Qur’an dan tafsrinya, hadits,
nahwu-Sharaf dan fiqh. Salah satu materi keislaman yang sejak awal
menarik hatinya adalah tasawuf. Materi ini pernah didiskusikan bersama
filosof muslim terkemuka itu. Pertemuan dengan Ibnu Rusyd digagas
ayahnya sendiri.
Ibnu Arabi menceritakan pertemuan ini : “Aku memilih
waktu yang tepat untuk bertemu dengan Abu al Walid Ibnu Rusyd. Dia telah
mendengar pikiran-pikiranku ketika aku di pengasingan. Dalam
pembicaraan yang menarik dia mengajukan pertanyaan:”Apakah jalan keluar
yang kamu temukan akibat dari iluminasi dan ilham Ilahi itu?. Bukankah
itu sangat spekulatif dan subyektif?. Aku jawab: “Ya dan tidak”.
Mendengar jawaban ini aku melihat wajah Abu al Walid menjadi pucat”.
Masih dalam usia muda, Muhyiddin menikah dengan Maryam, teman
perempuannya yang juga setia pada jalan tasawuf. Selama 40 tahun lebih
setelahnya dia hidup sebagai pengembara. Dia melakukan perjalanan
sebagai pencari gagasan-gagasan spiritual ke sejumlah wilayah di
Spanyol, Afrika Utara dan ke berbagai negari di Timur Tengah. Beberapa
negeri yang pernah disinggahinya antara lain Mesir, Baghdad, Makkah dan
lain-lain. Masa-masa terakhir hidupnya dilalui di Damaskus, Suriah
sambil terus menuliskan permenungan intuitifnya yang diperoleh selama
pengembaraannya.
Ibnu Arabi wafat tahun 1240 M. Kuburannya berada sebuah masjid yang
dikenal dengan namanya, terletak di puncak pegunungan Qasiyun. Damaskus,
Siria. Para peziarah dari berbagai penjuru dunia datang ke tempat ini
untuk mendapatkan berkah tokoh legendaris ini. Mereka berdoa dan
mendoakannya. Itu berlangsung sepanjang tahun sampai hari ini.
Ibnu Arabi dikenal sebagai penulis paling produktif pada zamannya.
Karyanya mencapai 200 buah. Sebagian menyebut jumlah lebih dari itu.
Muhammad Qajjah, direktur kebudayaan Suriah mengatakan : “Huwa Aghzar
Muallif fi Tarikh al Fikr al Islami bal la nubaaligh idza Qulna fi al al
Tarikh al Basyari”(dialah penulis paling subur dalam sejarah pemikiran
Islam bahkan tidak berlebihan jika saya katakan dalam sejarah pemikiran
manusia). Bukunya yang sangat terkenal adalah “Al Futuhat al Makiyyah”,
“Fushush al Hikam” dan “Tarjuman al Asywaq” berikut Syarh (ulasan) nya :
“Al Dzakhair wa al A’laq”. Dua bukunya yang pertama merupakan karya
masterpiecenya yang sangat terkenal di dunia sampai hari ini. Sementara
dua buku yang disebut akhir adalah buku yang ingin kita baca malam yang
indah ini.
Karya-karya Ibnu Arabi baik dalam bentuk prosa, puisi maupun
“tausyihat”, kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia. Sebagian lain dalam
bahasa Arab. Kebanyakan karya-karyanya masih dalam bentuk manuskript.
Pada masa sesudahnya buku-buku tersebut diteliti dan diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa dunia, oleh para sarjana muslim maupun non muslim.
Karya-karya dan pikiran-pikiran tersebut diperkenalkan, disebarkan dan
diberi ulasan panjang lebar oleh para muridnya yang terkenal sambil
melakukan pembelaan terhadap gurunya.
Beberapa di antaranya yang bisa
disebut adalah ; Shadr al Din al Qunawi (w. 887 H/1274 M) dalam ”Miftah
al Ghaib”, Abd al Karim al Jilli (767-805 H), Jalal al Din al Suyuthi,
dalam “Tanbih al Ghabiy fi Tabri-ah Ibn Arabi”, dan Abd al Wahhab al
Sya’rani (w. 1565), dalam “Al Yawaqit wa al Jawahir fi Bayan ‘Aqaid al
Akabir” dan “Al Kibrit al Ahmar fi Bayan Ulum al Syeikh al Akbar”.
Mereka adalah nama-nama besar dalam dunia mistisisme Islam yang dikenal
luas. Tulisan-tulisan Ibnu Arabi didiskusikan dengan apresiatif dan
dipuji.
Tetapi pada waktu yang sama dia disumpahserapah dengan penuh
kemarahan oleh para pembencinya yang pada umumnya adalah para ahli fiqh
dan ahli hadits. Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa karya-karya dan
gagasan-gagasan spiritual Ibnu Arabi menjadi sumber inspirasi yang
sangat kaya raya dan paling dinamis bagi banyak sufi dan para
intelektual terkemuka sesudahnya bahkan sampai hari ini. Pikiran-pikiran
al Syeikh al Akbar ini dinilai bagaikan lautan yang tak pernah kering.
Suhrawardi, sufi terbunuh, menggambarkannya sebagai “sebuah lautan
kebenaran-kebenaran Ilahi”.
Akan tetapi harus segera dikatakan bahwa karya-karya Ibnu Arabi
bersifat sangat akademis, filosofis dan begitu canggih, sehingga amat
sulit untuk dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Lebih-lebih karya
antologi puitiknya, seperti Tarjuman ini, atau“tausyihat”nya. Sedemikian
rumitnya memahami karya-karya Ibnu Arabi, sebagian orang meragukan
bahwa karya-karyanya tidak dihasilkan dari kesungguhan mental dan
intelektual, melainkan dari ilham dan pengalaman mistiknya.
Tarjuman adalah salah satu kumpulan puisi mistisnya yang paling
dikenal luas, sekaligus paling sulit diterjemahkan.
Sayang, tidak banyak
buku yang mengupas tuntas buku ini. Saya kira hanya pembaca yang amat
terpelajar yang sabar dan sudah terlatih dengan kepekaan mendalam dan
tinggi pada keilmuan Islam ; teologi, yurisprudensi (fiqh), sejarah dan
filsafat yang diharapkan mampu memahami karya-karyanya dengan baik.
Pembaca yang terbiasa dengan pemahaman Islam tekstualis dan eksoteris
bukan hanya tidak mampu mengapresiasi, melainkan juga sering salah
paham, apriori, tersesat, menyesatkan, mengafirkan dan bahkan berusaha
membunuhnya. Saya adalah bagian dari orang awam, tetapi saya tidak ingin
menyesatkan orang lain apalagi mengkafirkan dan menghalalkan daranya.
Saya ingin memahami dengan sebaiknya-baiknya tentang pikiran orang besar
ini sejauh yang dapat saya lakukan. Untuk ini saya harus berjalan
dengan tertatih-tatih, meletihkan, “menyiksa” dan sangat mungkin gagal.
Gagasan Ibnu Arabi
Gagasan utama sufi besar ini adalah doktrinnya tentang Wahdah al
Wujud (kesatuan wujud, Kesatuan Eksistensi) dan Al Insan al Kamil
(manusia paripurna) atau Hakikat Muhammadiyyah. Gagasannya yang kedua
ini dielaborasi lebih tajam oleh pengagumnya Abd al Karim al Jili. Karya
al Jili; “Al Insan al Kamil fi Ma’rifah al Awakhir wa al Awail”,
agaknya diinspirasi kuat oleh pikiran-pikiran Ibnu Arabi. Melalui
doktrin Wahdah al Wujudnya dia menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya
Eksistensi yang riil. Segala hal dalam ruang semesta adalah kenihilan
belaka. Lenyap. Tuhan adalah Realitas dalam segala yang wujud. Salah
satu ucapannya dalam “Al Futuhat al Makiyyah” yang sering dikutip orang
adalah :
فلولاه ولو لا نا لما كان الذى كان
Andai saja tiada Dia
Dan tiada aku
Niscaya tiadalah yang ada
Atau “Wa fi Kulli Syay-in lahu Aayah tadullu ‘ala Annahu ‘Ainuhu”.[2]
“Dan pada segala hal ada tanda yang menunjukkan bahwa ia adalah Dia”
Pada saat lain Ibnu Arabi juga mengatakan :
رأيت الحق فى الاعيان حقا
وفى الاسماء فلم أره سوائى
Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku[3]
Gagasan “wahdah al wujud” ini sejatinya bukan hanya milik Ibnu Arabi,
melainkan juga semua sufi terkemuka lainnya. Jauh sebelumnya doktrin
ini menjadi corak sufisme Husain Manshur al Hallaj (w. 922 M, sang sufi
martir yang legendaris itu. Abu Yazid al Bisthami (w. 261 H/875M), Abu
al Qasim al Junaidi al Baghdadi (w. 911 M) dan Abu Hamid al Ghazali (w.
1111) juga menganut atau mendukung paham ini. Jalal al Din al Rumi (w.
1274) adalah sufi legendaris lain sesudah Ibnu Arabi, yang juga
fenomenal dengan gagasan ini.[4] Ini untuk menyebut beberapa saja.
Al Hallaj, sufi martir paling fenomenal, misalnya, mengatakan dalam salah satu puisi sufistiknya :
مزجت روحك روحى كما
تمزج الخمرة بالماءالزلال
فإذا مسك شيئ مسنى
فإذ انت انا فى كل شيئ
Ruh-Mu dan ruhku bercampur
Bagai arak dan air
Jika sesuatu menyentuh-Mu,
Ia menyentuku
Engkau adalah aku
Dalam segalanya
Doktrin Wahdah al Wujud adalah puncak doktrin keberagamaan semua kaum
sufi besar. Meski dengan bahasa yang berbeda-beda semua sufi terkemuka
(Quthb al Awliya) memproklamirkan gagasan ini. Tetapi Ibnu Arabi sangat
eksklusif dan sangat istimewa. Pendekatan atas doktrin Wahdah al Wujud
nya sangat berbeda dengan para sufi lainnya. Seluruh pemikiran dan
doktrin sufismenya diinspirasi atau diilhami oleh perempuan. Meskipun
mungkin saja ada sufi lain yang juga mengambil inspirasi yang sama,
namun saya kira Ibnu Arabi dalam hal ini sangat menonjol, sebagaimana
yang tampak dengan jelas diutarakan dalam karya-karyanya, termasuk dalam
buku “Tarjuman al Asywaq” ini.
Buku Tarjuman al Asywaq
Buku Tarjuman al Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan
(kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri
dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda :
Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tidak diketahui secara pasti apakah
buku ini ditulis mendahului dua buku besar di atas atau sesudahnya.
Meski penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu
adalah bahwa dalam buku ini Ibnu Arabi memperlihatkan konsistensi atas
gagasan-gagasan besarnya, sebagaimana akan diketahui kemudian.
Tarjuman al Asywaq ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597
H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah
ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan.
Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibnu
Arabi banyak meiba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada
beberapa orang perempuan “suci”. Dalam pendahuluan buku ini dia menyebut
tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al Nisa, saudara perempuan Syeikh
Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. Perempuan ini adalah
sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya
dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. Kedua, Qurrah al ‘Ain.
Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah asyik
Tawaf, memutari Ka’bah.
Ibnu Arabi menceritakan sendiri pengalaman pertemuannya dengan perempuan itu:
“Ketika aku sedang begitu asyik tawaf, pada suatu malam, hatiku
gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat (al raml),
melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait
puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih.
ليت شعرى هل دروا أى قلب ملكوا
وفؤادى لو درى أي شعب سلكوا
أتراهم سلموا أم تراهم هلكوا
حار ارباب الهوى فى الهوى وارتبكوا
Aduhai, jiwa yang gelisah
Apakah mereka tahu
Hati manakah yang mereka miliki
O, relung hatiku
Andai saja engkau tahu
Lorong manakah yang mereka lalui
Adakah engkau tahu
Apakah mereka akan selamat
Atau binasa
Para pecinta bingung akan cintanya sendiri
Dan menangis tersedu-sedu[5]
Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutera menyentuh pundakku. Aku
menoleh. O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat
perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat
sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna.
Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan kalbu. Sungguh betapa
asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya begitu terkenal, budinya begitu
halus.
Begitu usai menyampaikan syair itu, perempuan itu mengatakan kepadaku :
“Aduhai tuan, kau memesonaku
Engkaulah kearifan zaman”[6]
Selanjutnya mengalirlah dialog antara kedua orang ini dalam suasana
mesra, saling memuji, mengagumi dan dengan keramahan yang anggun. Sang
perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara
spontan atas puisi-puisi Ibnu Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah
pada akhirnya dia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah ‘Ain, dia pamit
dan melambaikan tangan sambil mengucapkan “salam” perpisahan lalu pergi
entah ke mana. Dan Ibnu Arabipun terpana. Katanya: “Tsumma inni
‘araftuha ba’da dzalik wa ‘Aasyartuha. Fara-aiytu ‘indaha min Lathaa-if
al Ma’arif ma la yashifuhu waashif” (lalu aku mengenalnya sangat dekat
dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan
yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini
sungguh sangat luar biasa).[7]
Perempuan ketiga yang ditemuinya adalah Sayyidah Nizam (Lady Nizam),
anak perawan Syeikh Abu Syuja’. Dia biasa dipanggil “’Ain al Syams”
(mata matahari), dan “Syaikhah al Haramain” (guru besar untuk wilayah
Makkah dan Madinah). Ibn Arabi begitu terpesona dengan perempuan ini.
Pujian-pujian kepadanya terus mengalir deras tak tertahankan: “jika dia
bicara semua yang ada jadi bisu, dia adalah matahari di antara ulama,
taman indah di antara para sastrawan, wajahnya begitu jelita, tutur
bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan keerdasan yang sangat
cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh
keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja”.[8]
Banyak komentar orang yang menyatakan bahwa buku ini merupakan
refleksi-refleksi kontempelatif Ibnu Arabi atas keterpesonaannya yang
luar biasa pada perempuan perawan maha elok itu. Keterpesonaan ini
sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nizam diungkapkan dengan
jelas dalam syairnya dalam buku ini :
طال شوقى لطفلة ذات نثر
ونظام ومنبر وبيان
من بنات الملوك من دار فرس
من أجل البلاد من أصبهان
هى بنت العراق بنت إمامى
وأنا ضدها سليل يمانى
لو ترانا برامة نتعاطى
أكوسا للهوى بغير بنان
هل رأيتم يا سادتى أو سمعتم
أن ضدين قط يجتمعان
والهوى ببيننا يسوق حديثا
طيبا مطربا بغير لسان
لرأيتم ما يذهب العقل فيه
يمن والعراق معتنقان
Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nizam (pelantun puisi), mimbar dan bayan
Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku ?
O, betapa jauhnya
Moyangku dari Yaman
Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghidangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari
Adakah, kalian, wahai tuan-tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu
Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata
Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan[9]
Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan
Puisi-puisi di atas seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis
sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; sebuah
kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharami) terhadap tubuh perempuan
nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah
Nizam. Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat
dangkal, gersang dan tanpa makna. Orang-orang awam memang selalu dan
hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata
menurut arti lahiriah, literalnya. Mereka teramat sulit untuk bisa
mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah symbol-simbo dari pikiran dan
relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat
makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang
bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik. Dalam puisi-puisi di
atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara
terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain
kecintaan ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan
intelektual, namjun juga secara fisik dan psikis. Katanya : “Jika saja
tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap terhadap skandal
dan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah
sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.[10]
Akan tetapi
para pengagumnya menolak tafsir ini. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi,
menurut mereka memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi dan
merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. Katanya suatu ketika :
“Kontempelasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak
mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Esensi-Nya terlampau jauh
dari segala kebutuhan alam semesta. Maka bentuk dukungan formal yang
paling baik adalah kontempelasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan
kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai
dengan merenungkan perempuan.
Refleksi dan kontempelasi Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi seperti ini
sebagaimana diungkapkan dalam buku ini rasanya amat sulit dapat
dipahami, kecuali dengan membacaSyarh (komentar) yang ditulisnya sendiri
: “Al Dzakha-ir wa al A’laq” (simpanan-simpanan dan
kerinduan-kerinduan).[11]
Buku komentar ini sengaja ditulis sendiri oleh
Ibnu Arabi untuk menjelaskan berbagai kritik dan cacimaki orang (para
ahl fiqh) yang ditujukan kepadanya. Mereka menolak puisi-puisi cinta
birahi (ghazal), erotis. Ibnu Arabi dalamTarjuman al Asywaqnya yang oleh
dia dihubungkan dan dianalogikan dengan cinta kepada Tuhan. Komentar
yang ditulisnya di Aleppo, Damaskus, selama tiga bulan; Rajab, Sya’ban
dan Ramadhan ini kemudian dibacakan Qadhi Ibnu Adim di hadapan khalayak
ahli fiqh. Begitu selesai, para pengkritik kemudian mengakui
kesalahannya atau ketidakpahamannya itu dan bertaubat. Meskipun begitu,
masih banyak ulama yang menolak kumpulan puisi-puisi mistik ini. Menurut
mereka semua puisi ini tidak sesuai dengan pengalaman-pengalaman
religious, terlalu erotic, kecabulan dan amat tidak pantas.
Dari buku ini kita akan mengetahui bahwa semua kata-kata dalam
puisi-puisinya itu adalah kiasan-kiasan, metafora-metafora,
symbol-simbol dan rumus-rumus yang mengandung makna-makna mistis dan
sarat dengan hembusan-hembusan spiritualitas ketuhanan yang menukik dan
melampaui. Kata “Dzat natsr wa Nizham”, misalnya, merupakan ungkapan
tentang Wujud Mutlak dan Sang Pemilik (Pengatur) alam semesta. Kata
“mimbar” dimaknai sebagai “martabat-martabat” (tangga-tangga) dalam alam
semesta, alam kosmos, metafisika, atau “mimbar alam semesta”, “Bayaan”
bermakna “maqam risalah”(tempat kenabian).[12]
Ungkapan-ungkapan Ibnu
Arabi selalu memperlihatkan dualisme makna : lahir dan batin, tubuh dan
ruh, Ketuhanan dan makrokosmos, teologis dan kosmologis, fisika dan
metafisika. Ibnu Arabi mengatakan bahwa semua puisi ini berkaitan dengan
kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuknya, seperti tema-tema
cinta, eulogi, nama-nama dan sifat-sifat perempuan, nama-nama sungai,
tempat-tempat dan bintang-bintang.
Adalah menarik untuk menjelaskan kalimat : “ana dhidduha”(aku
lawannya) pada syair di atas. Ibnu Arabi mengatakan : “Jika anda
mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu
tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran. Ia adalah
penyatuan sifat kasar (al qahr) dan kelembutan (al Luthf). Ini
mengingatkan kita pada ucapan Abu Sa’id al Jazar : “Dengan cara apakah
engkau mengetahui Tuhan?”. Jawabnya adalah dengan penyatuan dua hal yang
berlawanan. Ini memang amat sulit untuk dipahami oleh akal, nalar”.[13]
Ya, ini pengalaman spritualitas yang menghanyutkan, sangat ruhaniah dan
irrasional. Mungkinkah bahwa ini juga adalah gagasan Ibnu Arabi tentang
penyatuan yin dan yang atau Maskulinitas dan Feminitas pada satu sisi,
dan tentang “Ittihad” atau “Hulul” pada sisi yang lain?.
Selain tiga nama perempuan di atas, Ibnu Arabi dalam buku ini juga
menyebut sejumlah nama perempuan lain : Hindun, Lubna, Sulaima, Salma,
Zainab, Laela dan Mayya. Penjelasan Ibnu Arabi terhadap nama-nama
perempuan ini, meski juga mengungkapkan kerinduannya kepada mereka,
karena mereka adalah nama-nama yang menyejarah dalam kehidupan
masyarakat, namun lagi-lagi bagi Ibn Arabi, mereka juga merupakan
simbol-simbol kerinduan Ibnu Arabi kepada Tuhan. Tetapi Lady Nizam
adalah perempuan yang digilai Ibnu Arabi dan paling mengesankan
sepanjang hidupnya. Dia mengatakan : “Seluruh pengetahuan ketuhanan ini
berada di balik tirai Nizam, putri guruku yang perawan,Syeikhah al
Haramain, maha guru dua tempat suci dan al ‘abidah (pengabdi Tuhan yang
tekun)”.[14]
Tampaknya dia ingin mengatakan bahwa pengetahuan tentang
ketuhanan(ma’rifah Ilahiyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi
pada diri perempuan. Atau, melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam
Wujud-Nya yang Maha Sempurna dan Maha Indah. Wallahu A’lam.
Akan tetapi mungkin penting untuk dicatat bahwa dengan penyebutan
nama-nama perempuan ini, Ibnu Arabi ingin memperlihatkan juga
pandangannya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam arti
sebenarnya. Perempuan, katanya dalam Futuhat al Makiyyah, adalah jiwa
yang sempurna. Ini adalah “bi hukm al Ashalah” suatu yang asali
(aslinya). Antara keduanya memang ada perbedaan keunggulan satu atas
yang lain. Akan tetapi, meski demikian, keduanya adalah setara (sama)
dalam kesempurnaannya. Ini identik dengan makna firman Tuhan “Tilka al
Rusul Fadhdhalna ba’dhahum ‘ala ba’dh”(para utusan Tuhan itu satu atas
yang lain Aku lebihkan). Dari aspek kerasulannya mereka sama, tidak ada
yang lebih unggul. Tetapi dari aspek tugas kerasulannya, memang ada
perbedaan keunggulan satu atas yang lain”.[15]
Memang, karena pada saat
lain Tuhan juga mengatakan : “La Nufarriqu baina ahad min rusulih” (Kami
tidak membeda-bedakan di antara utusan Kami). Ini agaknya merupakan
pandangan Ibnu Arabi tentang relasi laki-laki dan perempuan. Kedua jenis
kelamin ini adalah setara dalam aspek universalitas kemanusiannya,
tetapi berbeda dalam tugas kemanusiannya dengan kadar yang relative,
tergantung konteks sosialnya. Dalam “Al Futuhat”, Ibnu Arabi menyatakan
pandangannya dengan lebih jelas :
إن النساء شقائق الذكران
فى عالم الارواح والابدان
والحكم متحد الوجود عليهما
وهو المعبر عنه بالانسان
وتفرقا عنه بامر عارض
فصل الاناث به من الذكران
Perempuan adalah saudara kandung laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh kasar
Keduanya satu dalam eksistensi
Itulah manusia
Perbedaan antara mereka aksiden semata
Perempuan dan laki-laki memang dibedakan[16]
Tajalla Tuhan dalam Kosmos
Mabuk cinta Ibnu Arabi kepada Sang Kekasih juga diungkapkan dengan
menyebut realitas-realitas alam ; burung-burung yang bernyanyi riang,
mata rusa yang menatap tajam, sayap-sayap burung merak yang indah bagai
pelangi, bunga-bunga yang mekar-mewangi, taman-taman yang teduh nan
meriah bagai pelangi, puing-puing yang menggugah rindu dan mabuk
kepayang, tempat-tempat persinggahan yang mengingatkan romantisme masa
lalu, padang rumput yang terhampar menghijau, angin yang semilir
sepoi-sepoi, musim semi yang penuh bunga warna-warni, mega yang berarak,
tenang dan teduh, mata air yang mengalir, mata hari yang menghangatkan,
rembulan yang bersinar lembut, senja yang temaram dan seterusnya. Dalam
waktu yang sama dia juga mengutarakan isi hatinya yang kelu, merindu
dan menyinta ; air mata yang menetes satu-satu, pipi perempuan yang
ranum, mata yang sendu, luka di relung-relung sanubari, hari-hari
perpisahan yang menghancurkan kalbu, canda ria dan celoteh yang
menggemaskan, keriangan yang meledak-ledak, pelukan tubuh yang
menggairahkan, nyanyi sunyi yang mengiris dan lain-lain. Ini semua
diungkapkan Ibnu Arabi dalam buku kompilasi puisi sufistiknya ini.
Kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan filosofis Ibnu Arabi ini
menunjukkan bahwa fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah
“tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. Fenomena alam
semesta dalam pandangannya adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan
Eksistensi Tuhan. “Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. Segala
selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”. Di sinilah kita dapat memahami
kembali doktrin “Wahdah al Wujud” dari sang “al Kibrit al Ahmar” ini.
Sangat menyenangkan bagi saya untuk mengungkapkan gagasan ini dari
seorang murid Ibnu Arabi yang terkenal: Abd al Karim al Jili. Katanya
dalam sebuah syair :
تجليت فى الا شياء حين خلقتها
فها هى ميطت عنك فيها البراقع
Engkau menyingkapkan Diri
Dalam segala sesuatu
Ketika Engkau menciptakannya
O, lihatlah
Cadar-cadar itu kini tersingkir[17]
Atau dari Ibnu ِAjibah ketika mengomentari ucapan Wahdah al Wujud nya
Ibnu Athaillah. Dalam salah satu syairnya dia mengungkapkan:
أنظر جمالى شاهدا فى كل إنسان
الماء يجرى نافدا فى أس الاغصان
تجده ماء واحدا والزهر ألوان
Lihatlah Keindahan-Ku
Saksi pada semua manusia
Air mengalir,
menembus
pokok dahan-dahan
Engkau temui Dia
Mata air yang Tunggal
Dan bunga merekah
berwarna-warni[18]
Banyak syair Ibnu Arabi yang menjebak pembaca awam pada pemahaman yang amat dangkal. Beberapa di antaranya :
يامن يرانى ولا اراه كم ذا أراه ولا يرانى
Aduhai, Dia yang melihatku
dan aku tidak melihat-Nya
Betapa sering aku melihat-Nya
Dan Dia tidak melihatku
Mendengar syair ini mereka marah. Kata mereka : “Bagaimana Tuhan
tidak melihat dia. Ibnu Arabi segera menjelaskannya dengan manis:
يا من يرانى مجرما ولا أراه آخذا
كم ذا أراه منعما ولا يرانى لائذا
Aduhai Dia yang melihatku pendosa
Tetapi aku tidak melihat-Nya marah
Betapa sering aku melihat-Nya pemurah
Meski Dia tidak melihat aku minta ampun
Atau syair yang diungkapkannya pada kesempatan yang lain :
فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده
Dia memujiku, aku memuji-Nya
Dia mengadi padaku, aku mengabdi padanya
Mereka juga marah. Bagaimana mungkin Tuhan menyembah dia. Ibnu Arabi
segera menerangkan. Arti “Dia memujiku” adalah Dia senang karena aku
taat pada-Nya, dan arti “Dia mengabdi padaku” adalah Dia mengabulkan
doaku.
Kesatuan Agama-agama
Pada bagian lain dari buku kompilasi “Tarjuman al Asywaq” ini, kita
menemukan pernyataannya yang sering disebut sebagai pandangan “Wahdah al
Adyan” (kesatuan agama-agama) dari sang sufi besar ini. Ibnu Arabi
menyatakan:
لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثان وكعبة طا ئف
والاواح توراة ومصحف قرآن
أدين بدين الحب اين توجهت
ركا ئبه فالحب دينى وإيما نى
Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an
Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku[19]
Semua penulis dan para pembaca Ibnu Arabi biasanya mengomentari
syair-syair di atas sebagai sikap dan pandangan dasar sang gnostik besar
ini tentang toleransi dan kesatuan agama-agama. Mereka memahami
kata-kata di atas menurut makna literalnya. Pernyataan ini boleh jadi
memang benar adanya sebagai konsekuensi lebih lanjut dari doktrin Wahdah
al Wujudnya sebagaimana sudah sedikit diurai. Semua penganut agama,
dengan nama yang berbeda-beda dan dengan cara peribadatan dan
penyembahannya masing-masing, pada hakikatnya hendak mengekspresikan
kecintaan kepada Tuhan. Semua pemeluk agama bergerak menuju Tuhan yang
satu dan sama itu. Mereka sama-sama mencintai, mendambakan Cinta-Nya,
mendekat dan ingin menyatu dalam dekapan-Nya. Karena Dialah Pencipta
segala yang ada dan Dia mencintai semuanya.
Jalan dan cara pendakian (manusia) beragam
Tetapi mereka berjalan ke arah kebenaran
Yang Satu
Dan para pendaki jalan kebenaran itu
Mencari jalan sendiri-sendiri
Bahasa kita beragam tetapi Engkaulah
Satu-satunya Yang Maha Indah
Dan masing-masing kita
menuju Sang Maha Indah Yang Satu itu
Para sufi besar selalu mengemukakan hadits Qudsi yang sangat
terkenal, tentang alasan Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta.
“Kuntu Kanzan Makhfiyyan fa Ahbabtu an ‘Uraf, fa Khalaqtu al Khalq, Fa
bihi ‘Arafuni” (Aku adalah Simpanan berharga yang tersembunyi. Aku ingin
sekali dikenal. Lalu Aku ciptakan makhluk. Maka dengan itu mereka
mengenalku”. Jadi Tuhan menciptakan alam semesta karena dia
Mencintai-Nya dan Dia ingin dicinta. Dan Cintalah yang menyatukan segala
yang terserak.
Akan tetapi tafsir di atas tidaklah satu-satunya yang bisa
dikemukakan. Ibnu Arabi lagi-lagi sebenarnya sedang asyik dimabuk cinta
yang menyala-nyala ketika menatap Realitas Yang Tunggal menampakkan diri
dalam wujud semesta. Dia mengungkapkan gairah cinta itu dalam kata-kata
metaforis yang tak biasa. Ibnu Arabi menggambarkan “hati yang membuka
diri bagi realitas-realitas” sebagai hati yang bergerak ke sana kemari
dalam merespon “al Tajalliyyat al Iahiyyah”
(Ketersingkapan
Kehendak-Kehendak Tuhan) dalam alam semesta yang berwarna-warni dan
beragam karakter, sifat dan kehendak. Makna “Padang rumput bagi rusa”
baginya merupakan penggambaran hatinya yang lepas dan bebas dalam
mencinta, bagai rusa yang bergerak dan berlari-lari di padang rumput
yang luas. Ibnu Arabi sengaja menyebut rusa dan bukan binatang yang
lain, karena, katanya, meskipun mata kuda lebih lebar, tetapi mata rusa
lebih tajam. Dan Mata Tuhan niscaya lebih tajam dari mata siapapun. Dia
Melihat yang kasat mata, yang telanjang dan yang tersembunyi di
lubuk-lubuk nurani yang pekat dan sunyi senyap. Mengenai kalimat : “Hati
adalah rumah berhala-berhala”, dia mengatakan: “Oleh karena Hakikat
Yang Dicari (al Haqa-iq al Mathlubah) kepada siapa semua menyembah dan
menghambakan diri pada-Nya itu menetap di dalamnya, maka hati disebut
‘watsan’ (yang menetap, yang kokoh). Ibnu Arabi berharap cintanya kepada
Tuhan tetap kokoh dan menetap selama-lamanya di relung-relung hatinya
yang paling dalam. Dan “oleh karena ruh-ruh luhur (al Arwah al
‘Alawiyyah) mengelilingi hatinya, maka ia dinamai “ka’bah”. Hati yang
menerima ilmu-ilmu pengetahuan Musa dari Ibrani (al ‘ulum al Musawiyyah
al Ibraniyyah) disebut papan-papan (alwah). Hati yang mewarisi
pencerahan kenabian Muhammad (Al Ma’arif al Muhammadiyyah al
Kamaliyyah), adalah lembaran-lembaran yang menampung seluruh essensi
pengetahuan (Jawami’ al Kalim) bagi hatinya.[20]
Pada akhirnya dia
mengatakan : “tidak ada agama yang dipeluk manusia di manapun, setinggi
agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan (al mahabbah wa al
syauq). Ini adalah agama Muhammad. Dialah sang terkasih dan yang
dirindukan sepanjang hari sepanjang malam”.[21]
Sebagaimana selalu dikemukakan para pengaji Tasawuf, bahwa Tuhan
mencipta makhluk-Nya karena Dia ingin dikenal (dicintai). Sebelumnya Dia
adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Dalam hadits Qudsi disebutkan :
كنت كنزا مخفيا فأحب ان أعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku adalah Perbendaharaan yang Tersembunyi. Aku ingin dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk. Berkat Aku mereka mengenalku”
Demikianlah. Sufi legendaris yang agung ini telah menyenandungkan
cintanya kepada Tuhan dengan cara yang memang sangat luar biasa. Dia
mabuk kepayang dalam cinta kepada Tuhan, cinta yang membara, bergelora
dan menghanyutkan. Cinta apa yang ada di langit dan cinta yang ada di
bumi. Dia terserap, luruh dan hilang bentuk dalam rindu dendam
kepada-Nya.
Sampai di sini aku tidak bisa berkata apa-apa di hadapan orang besar
ini. Lidahku kelu. Tanganku tak sampai. Otakku kandas. Maka aku biarkan
sang Syeikh berkelana sendiri ke negeri antah berantah atau ke puncak
langit alam semesta, dan biarkanlah aku berdiri di sini, di bumi ini.
Betapa rendah.