Sunday, November 19, 2017

DOA TAUBAT NABI ADAM AS.

Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 38:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab ad-Durul Mantsûr fît Tafsîril Ma’tsûr mengutip sejumlah riwayat tentang kisah pertobatan Nabi Adam. Ketika diusir dari surga dan jatuh ke bumi, beliau mendatangi Ka’bah dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa, dalam untaian doa yang indah:

اللّهُمّ إِنّكَ تَعْلَمُ سِرِّيْ وَعَلَانِيَتِيْ فَاقْبَلْ مَعْذِرَتِيْ وَتَعْلَمُ حَاجَتِيْ فَأَعْطِنِيْ سُؤَلِيْ وَتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ. اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِيْ وَيَقِيْنًا صَادِقًا حَتَّى أَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيْبُنِيْ إِلَّا مَا كَتَبْتَ لِي وَأَرْضِنِيْ بِمَا قَسَّمْتَ لِي

“Ya Allah, sungguh Engkau tahu apa yang tersembunyi dan tampak dariku, karena itu terimalah penyesalanku. Engkau tahu kebutuhanku, maka kabulkanlah permintaanku. Engkau tahu apa yang ada dalam diriku, maka ampunilah dosaku. Ya Allah sungguh aku memohon kepada-Mu iman yang menyentuh kalbuku dan keyakinan yang benar sehingga aku tahu bahwa tidak akan menimpaku kecuali telah Engkau tetapkan atasku. Ya Allah berikanlah rasa rela terhadap apa yang Engkau bagi untuk diriku.”

Allah swt  kemudian menjawab doa Nabi Adam as :

“Hai Adam, Aku telah terima taubatmu dan telah Aku ampuni dosamu. Tidak ada seorang pun di antara keturunanmu yang berdoa dengan doa sepertimu kecuali Aku ampuni dosa-dosanya, Aku angkat kesedihan dan kesulitannya, Aku cabut kefakiran dari dirinya, Aku niagakan dia melebihi perniagaan semua saudagar, Aku tundukkan dunia di hadapannya meskipun dia tidak menghendakinya.”

Doa Nabi Adam yang indah dijawab oleh Allah dengan jawaban yang lebih indah. Jalaluddin as-Suyuthi juga mengutip riwayat bahwa sebelum memanjatkan doa, Nabi Adam tawassul dengan nama Muhammad. Beliau bermunajat: “Ya Allah, jika Aku memohon kepada-Mu dengan nama Muhammad, apakah Engkau sudi mengampuni dosaku?” Allah menjawab, “Siapa Muhammad?”. Adam berkata, “Maha Suci Engkau, ketika Engkau ciptakan aku, aku tengadahkan wajahku menghadap arasy-Mu dan di sana tertulis kalimat لا اله الا الله محمد رسول الله, maka Aku tahu bahwa tidak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya di sisi-Mu kecuali dia yang namanya bersanding dengan nama-Mu.” Allah menjawab, “Hai Adam, dia adalah nabi terakhir dari keturunanmu. Jika bukan karena dia, aku tidak akan menciptakanmu (لو لا هو ما خلقتك).

Dalam kitab ini juga disebutkan sebuah riwayat dari Ibn Abbas yang bertanya kepada Rasulullah tentang kalimat-kalimat pertobatan yang diterima Adam dari Allah. Rasulullah menjawab: “Dia (Adam) memohon kepada Allah dengan menyebut nama Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian diterimalah tobatnya.” (Ad-Durul Mantsûr fît Tafsîril Ma’tsûr, 2000 (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah), h. 119)

Anda boleh percaya boleh tidak. Saya hanya menyampaikan apa yang tertulis kitab ini. Riwayat ini tidak terlalu populer, apalagi di kalangan sekelompok orang yang gampang menuduh siapa pun yang mencintai Ahlul Bait sebagai Rafidhi (Syiah Rafidhah), hingga Imam Syafi’i dalam petikan diwannya yang terkenal pernah berujar:

لو كان رافضا حب ال محمد،  فاليشهد الثقلان اني رافضي

“Jika mencintai keluarga Muhammad berarti Rafidhi, biarlah jin dan manusia bersaksi bahwa aku ini Rafidhi.”

Wallahu a’lam.

KUMPULAN SHOLAWAT DAN ARTINYA

1.SHOLAWAT NARIYAH

ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMADIN KAMAA SHALLAITA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIMA WA’ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAHIIA WABAARIK ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALAA SAYYIDINAA ’ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIMA WA ‘ALAA AALI SAYYIDINA IBRAAHIMA, FIL ‘AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN.

Artinya :
 Ya Allah , berilah kasih saying kepada junjungan kita nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi kasih sayangmMu kepada junjungan kita Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan berkatilah kepada junjungan kita nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberkati junjungan kita nabi Ibrahim dan kelurganya diantara makhluk makhlukmu, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

2.IBRAHIMIYAH 

ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA’ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMADIN KAMAA SHALLAITA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIMA WA’ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAHIIA WABAARIK ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALAA SAYYIDINAA ’ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIMA WA ‘ALAA AALI SAYYIDINA IBRAAHIMA, FIL ‘AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN. 

Artinya : 
Ya Allah , berilah kasih saying kepada junjungan kita nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi kasih sayangmMu kepada junjungan kita Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan berkatilah kepada junjungan kita nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberkati junjungan kita nabi Ibrahim dan kelurganya diantara makhluk makhlukmu, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

3.SHOLAWAT MUNJIYAT


 Artinya: 
"Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas junjunan kami, Muhammad, dengan suatu shalawat yang menye-babkan kami selamat dari semua ketakutan dan malapetaka, yang menyebabkan Engkau menunaikan semua hajat kami, yang menyebabkan Engkau me-nyucikan kami dari semua kejahatan, yang menyebabkan Engkau mengangkat kami ke derajat yang tinggi di sisi-Mu, dan yang menyebabkan Engkau menyampaian semua cita-cita kami berupa kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat."

Penjelasan:

Shalawat di atas disebutkan di dalam kitab Dalâ'il. Dalam syarah kitab tersebut disebutkan riwayat dari Hasan bin 'Ali Al-Aswânî. Ia berkata, "Barangsiapa yang membaca shalawat ini dalarn setiap perkara penting atau bencana sebanyak seribu kali, niscaya Allah akan melepaskan bencana itu darinya, dan menyampaikan apa yang diinginkannya."


 

Sunday, November 12, 2017

APA PERBEDAAN NABI & RASUL

Perbedaan Nabi dan Rasul

Nabi

  • Seorang Nabi menerima wahyu dari Allah SWT untuk dirinya sendiri.
  • Bertugas melanjutkan atau menguatkan syariat dari rasul sebelum nabi tersebut.
  • Nabi diutus kepada kaum yang sudah beriman.
  • Nabi yang pertama adalah nabi Ada ‘alaihissalam.
  • Jumlah nabi sangat banyak bahkan sampai ratusan ribu.
  • Setiap rasul adalah nabi namun tidak setiap nabi adalah rasul.
  • Nabi hanya mendapatkan wahyu melalui mimpi.
  • Ada nabi yang dibunuh oleh kaumnya.

Rasul

  • Rasul menerima wahyu dari Allah SWT guna disampaikan kepada segenap umatnya.
  • Diutus dengan membawa syariat yang baru.
  • Rasul diutus kepada kaum yang belum beriman (kafir).
  • Rasul yang pertama kali adalah Nuh ‘Alaihissalam.
  • Jumlah rasul lebih sedikit dibanding dengan nabi.
  • Setiap rasul adalah nabi.
  • Rasul dapat menerima wahu melalui mimpi maupun melalui malaikat dan ia dapat melihat serta berkomunikasi secara langsung dengan malaikat.
  • Seluruh rasul yang diutus Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan yang dilancarkan oleh kaumnya.
Sedangkan menurut Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi, Perbedaan antara nabi dan rasu adalah bahwa orang yang diberikan perintah (wahyu) dari Allah SWT, jika dia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada orang lain maka dia disebut sebagai seorang Nabi dan Rasul sedangkan jika dia tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang lain maka dia adalah seorang Nabi dan Bukan seorang Rasul. Karena setiap rasul merupakan nabi namun tidak setiap nabi merupakan seorang rasul. (Syarh ath Thahawiyah fii ‘Aqidah as Salaf hal 296)

 "TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG INI , SEMOGA BERMANFAAT"
Klik Follow untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini

ARTI ISTILAH BAHASA ARAB YANG SERING DIGUNAKAN ORANG INDONESIA

Asalamualaikum wr.wb
Apa kabar temen-temen?
Tidak sedikit situasi entah dalam obrolan ringan ataupun serius kita bertemu kata2 bahasa arab yang terkadang kita gagal paham maksudnya. Untuk itu pada kesempatan kali ini saya ingin memuat sedikit istilah-istilah bahasa Arab yang sering kita dengar barangkali temen2 juga belum mengerti maknanya. Ok langsung aja , monggo disimak sendiri ya...

A
Afwan:
a. Maaf.
b. Jawaban ketika lawan bicara mengatakan “Syukron”.
Adab: Sikap.
Ana: Saya.
Antum: Kamu.
Azzam: Tekad.
Akhwat: Sebutan untuk wanita yang sudah mendapatkan tarbiyah Islam.
Akhina/Akhi: Panggilan untuk Ikhwan (Lawan: Ukhtina/Ukhti).
Ahlan wa sahlan: Selamat datang.
Aqliyah: Akal.
B
Basecamp: Tempat berkumpul.
Briefing: Kegiatan konsolidasi sebelum suatu acara dilaksanakan.
Bi Khair: Baik/ Jawaban saat lawan bicara mengucapkan “Kaifa haluk ?”.
Bazaar: Kegiatan muamalah Rohis/ berjualan.
D
Da’i/du’at: Sebutan lain untuk aktivis dakwah.
Dauroh: Pelatihan organisasi.
Diknalar: (Pendidikan dan Penalaran) Kegiatan belajar akademik anggota Rohis.
Departemen/Dewan: Struktural di Rohis yang bertanggung jawab terhadap suatu bidang.
E
Evaluasi: Pembahasan setelah suatu acara/program dilaksanakan.
F
Futur: Suatu keadaan saat keimanan sedang menurun, sehingga timbul kemalasan untuk melakukan aktivitas dakwah.
G
Ghiroh: Semangat.
Ghozwul Fikri: Perang pemikiran.
H
Hafizh: Penghafal.
Hijab: Batasan antara ikhwan dan akhwat dalam Islam.
Halaqah: (Lingkaran) Majelis ilmu berbentuk lingkaran yang dipimpin oleh seorang Mentor/Murabbi.
I
Ifthor Jama’i: Berbuka puasa bersama.
Ibroh: Makna/kandungan.
Ikhwan: Sebutan lain bagi laki-laki yang sudah mendapatkan pendidikan/tarbiyah Islam (Lawan: Akhwat).
Iqob: Sanksi terhadap suatu pelanggaran.
Ikhwah: Saudara.
K
Kaderisasi: Strategi untuk merekrut anggota baru.
Kressen: (Kreasi Seni) Departemen di Rohis yang membidangi kesenian Islam.
Kaifa Haluk: Apa kabar ? (Jawab: Alhamdulillah, bi khair).
L
La Tahzan: Jangan bersedih
Liqo’: Majelis ilmu.
M
Mas’ul: Penanggung jawab.
Marhaban: Selamat datang.
Moderator: Pemimpin diskusi.
Mentor: Pengasuh/instruktur Rohis.
Murabbi: Guru.
Mabit: (Malam Bina Iman dan Taqwa/Bermalam) Kegiatan bermalam di suatu tempat dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
Man Ismuka/Masmuka ?: Siapa nama Anda ? (Jawab: Ismi …).
Mad’u: Orang yang didakwahi.
Munsyid: Penyanyi nasyid.
Majelis: Perkumpulan orang-orang untuk tujuan tertentu.
Muhasabah: Introspeksi.
N
Nasyid: Salah satu kesenian musik Islami.
O
Open House: Kegiatan menyambut siswa baru yang dilaksanakan Rohis.
Outbond: Kegiatan outdoor berupa games-games menarik.
P
Pembina: Pimpinan tertinggi di struktural Rohis dan bertanggung jawab terhadap Rohis secara keseluruhan.
PJ: (Penanggung Jawab)
R
Riadoh: Olahraga.
Rihlah: Jalan-jalan.
Rekrutment: Perekrutan anggota baru.
Rohis: (Kerohanian Islam) Organisasi ekstrakurikuler Islam yang berada dibawah naungan sekolah.
S
Syar’i: Sesuai dengan syariat Islam.
Syuro: Rapat/musyawarah.
Sekre/sekretariat: Kantor/tempat berkumpul.
Syukron: Terima kasih (Jawab: Afwan).
Shaum: Puasa.
T
Tarhib: Menyambut (Tarhib Ramadhan: Kegiatan menyambut bulan suci Ramadhan).
Ta’aruf: Kenalan.
Tafaddol: Silakan.
Tafaddol Ijlis: Silakan duduk.
Ta’lim: Majelis ilmu yang dihadiri banyak orang.
Tarbiyah: Pendidikan.
Tanzhif: (Kebersihan) Gotong royong.
Tafakur Alam: Kegiatan berkemah Rohis.
U
Ukhuwah: Ikatan persaudaraan.
Ukhuwah Islamiyah: Ikatan persaudaraan sesama orang-orang beriman
Ukhtina/Ukhti: Panggilan untuk Akhwat (Lawan: Ikhwan).

Tambah Lagi ya....

1. Akh (saudara pria 1 orang)

2. Akhi (saudaraku pria 1 orang)

3. Ukht (saudari perempuan 1 org)

4. Ukhti (saudariku perempuan 1 org)

5. Ikhwan/ikhwah (saudara pria banyak)

6. Akhawat (bukan akhwat, saudari perempuan banyak)

7. Ana (saya, dalam bahasa Betawi digunakan ane)

8. Anta (Anda, untuk laki-laki. Dalam bahasa Betawi digunakan ente)

9. Anti (Anda, untuk perempuan)

10. Antum (Kalian, untuk laki-laki banyak. Tapi kata ini sering juga digunakan untuk Anda (1 laki-laki), dalam rangka penghormatan). Misalnya ketika berbicara kepada yang lebih tua atau dihormati, digunakan kata Antum meskipun orangnya satu.

11. Jazaakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, untuk saudara laki-laki 1 orang).

12. Jazakumullah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, untuk laki-laki banyak, bisa juga digunakan untuk campur laki-laki dan perempuan banyak)

13. Jazaakillah (untuk perempuan 1 orang)

14. Wa iyyaka (semoga engkau juga dibalas dengan kebaikan, jawaban bagi yang mengucapkan jazaakallah, untuk laki-laki)

15. Wa iyyaki (sama dengan: no 14, tapi untuk perempuan)

16. Syukran (terima kasih, bisa untuk laki-laki atau perempuan)

17. Afwan (sama-sama, jawaban untuk org yg mengucapkan syukran) Tapi, afwan secara asal artinya: maaf. Karenanya biasa digunakan di awal pembicaraan. Misal : afwan, ana telat. (Maaf, saya terlambat). Padahal, kalimat ini jarang digunakan oleh orang Arab.

19. Yassarallah/sahhalallah lanal khaira haitsumma kunna (semoga Allah mudahkan kita dalam kebaikan dimanapun berada)

21. Syafakallah (semoga Allah menyembuhkanmu : laki-laki, Syafakillah : perempuan) Syafahallah lebih dari satu orang.



22. Fii amaanillah (Semoga dalam lindungan Allah)

23. Ilalliqa (Sampai ketemu lagi, diucapkan oleh orang yang mau pamit)

24. Maas salaamah (semoga dalam keselamatan, dijawab oleh yang dipamitin)

25. Baarakallah (semoga Allah memberkahi, bisa untuk laki-laki atau perempuan) Barakallah fikum/Allahu yubarik fik, semoga Allah memberikan kalian berkah.

26. Baarakallahu laka (sama dengan no 25, khusus buat laki-laki)

27. Baarakallahu laki (sama dengan no 26, khusus perempuan)

28. Ahsanta (Engkau bagus, untuk laki-laki 1 orang. Biasanya digunakan buat memberikan pujian ketika seseorang melakukan keberhasilan)

29. Ahsanti (sama dengan no 28 untuk perempuan 1 orang)

30. Naam (Ya, buat laki-laki atau perempuan), La (Tidak, buat laki-laki atau perempuan)

31. Shahih (Benar)

32. Yakfi (Cukup. Dalam bahasa Inggris sama dengan kata enough).

33. Tafadhdhal (silakan, untuk laki-laki 1 orang, tapi bisa juga untuk umum).

34. Tafadhdhalii (silakan, untuk perempuan 1 orang)

35. Mumtaaz (Keren, bagus banget, untuk pujian)

36. Laa Adri (Tidak tahu)

37. Shadaqta (engkau benar, untuk laki-laki. untuk perempuan : shadaqti)

38. Allahul musta'an (hanya Allah-lah tempat kita memohon pertolongan)

39. Wa anta kadzalik : (begitu juga kamu)

40. Ayyu Khidmah ( ada yang bisa dibantu?)

41. Hafizhanallah (semoga Allah menjaga kita)

42. Zadanallah ilman wa hirsha (semoga Allah menambah kita ilmu dan semangat)

43. Allahu yahdik (semoga Allah memberimu petunjuk/hidayah)
 "TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG INI , SEMOGA BERMANFAAT"
Klik Follow untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini

Thursday, November 9, 2017

PEMIKIRAN SYEKH AKBAR IBNU ARABI

SYEKH AKBAR IBNU ARABI
  
Abu Bakar Ibnu al-'Arabi (Arab: أبو بكر بن العربي‎‎) atau Ibnul Arabi adalah seorang imam sunni, qadi dari mazhab Maliki pada masa Spanyol Islam. Ia dilahirkan di Sevilla pada tahun 1076 M dan meninggal di Fez, Maroko pada 1148 M.[1] Ayahnya yang bernama Abu Muhammand ibn al-'Arabi merupakan pejabat tinggi untuk Khalifah Taifa di Sevilla. Ayahnya juga merupakan salah seorang murid dari Ibnu Hazm. Saat ia berusia 9 tahun, ia dan ayahnya terpaksa bermigrasi ke luar negeri pada tahun 1901 untuk menghindari kekacauan politik ketika Andalusia dikuasai oleh dinasti Al-Murabithun. Keduanya naik kapal laut ke Mesir lalu menuju Yerusalem dan menetap di sana sepanjang 1093-1096. Kemudian keduanya pindah ke Damaskus dan Baghdad untuk menuntut ilmu agama (rihlah) yang mana Ibnul Arabi sempat belajar kepada Imam Ghazali. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1099 di umur 57 tahun, Ibnul Arabi yang telah berumur 26 tahun kembali ke Sevilla untuk mulai mengajar sehingga kemudian menjadi ulama yang terpandang di sana
Muhyiddin, yang secara literal berarti orang yang menghidupkan agama.
Ayahnya bernama Ali bin Ahmad bin Abd Allah. Dalam 30 tahun sejak kelahirannya dia tinggal di negerinya dan mengaji keilmuan Islam tradisional secara bandongan pada sejumlah ulama terkemuka pada masanya. Kepada mereka Ibnu Arabi belajar al Qur’an dan tafsrinya, hadits, nahwu-Sharaf dan fiqh. Salah satu materi keislaman yang sejak awal menarik hatinya adalah tasawuf. Materi ini pernah didiskusikan bersama filosof muslim terkemuka itu. Pertemuan dengan Ibnu Rusyd digagas ayahnya sendiri.

Ibnu Arabi menceritakan pertemuan ini : “Aku memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan Abu al Walid Ibnu Rusyd. Dia telah mendengar pikiran-pikiranku ketika aku di pengasingan. Dalam pembicaraan yang menarik dia mengajukan pertanyaan:”Apakah jalan keluar yang kamu temukan akibat dari iluminasi dan ilham Ilahi itu?. Bukankah itu sangat spekulatif dan subyektif?. Aku jawab: “Ya dan tidak”. Mendengar jawaban ini aku melihat wajah Abu al Walid menjadi pucat”.
Masih dalam usia muda, Muhyiddin menikah dengan Maryam, teman perempuannya yang juga setia pada jalan tasawuf. Selama 40 tahun lebih setelahnya dia hidup sebagai pengembara. Dia melakukan perjalanan sebagai pencari gagasan-gagasan spiritual ke sejumlah wilayah di Spanyol, Afrika Utara dan ke berbagai negari di Timur Tengah. Beberapa negeri yang pernah disinggahinya antara lain Mesir, Baghdad, Makkah dan lain-lain. Masa-masa terakhir hidupnya dilalui di Damaskus, Suriah sambil terus menuliskan permenungan intuitifnya yang diperoleh selama pengembaraannya.
Ibnu Arabi wafat tahun 1240 M. Kuburannya berada sebuah masjid yang dikenal dengan namanya, terletak di puncak pegunungan Qasiyun. Damaskus, Siria. Para peziarah dari berbagai penjuru dunia datang ke tempat ini untuk mendapatkan berkah tokoh legendaris ini. Mereka berdoa dan mendoakannya. Itu berlangsung sepanjang tahun sampai hari ini.

Ibnu Arabi dikenal sebagai penulis paling produktif pada zamannya. Karyanya mencapai 200 buah. Sebagian menyebut jumlah lebih dari itu. Muhammad Qajjah, direktur kebudayaan Suriah mengatakan : “Huwa Aghzar Muallif fi Tarikh al Fikr al Islami bal la nubaaligh idza Qulna fi al al Tarikh al Basyari”(dialah penulis paling subur dalam sejarah pemikiran Islam bahkan tidak berlebihan jika saya katakan dalam sejarah pemikiran manusia). Bukunya yang sangat terkenal adalah “Al Futuhat al Makiyyah”, “Fushush al Hikam” dan “Tarjuman al Asywaq” berikut Syarh (ulasan) nya : “Al Dzakhair wa al A’laq”. Dua bukunya yang pertama merupakan karya masterpiecenya yang sangat terkenal di dunia sampai hari ini. Sementara dua buku yang disebut akhir adalah buku yang ingin kita baca malam yang indah ini.

Karya-karya Ibnu Arabi baik dalam bentuk prosa, puisi maupun “tausyihat”, kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia. Sebagian lain dalam bahasa Arab. Kebanyakan karya-karyanya masih dalam bentuk manuskript. Pada masa sesudahnya buku-buku tersebut diteliti dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, oleh para sarjana muslim maupun non muslim. Karya-karya dan pikiran-pikiran tersebut diperkenalkan, disebarkan dan diberi ulasan panjang lebar oleh para muridnya yang terkenal sambil melakukan pembelaan terhadap gurunya.

Beberapa di antaranya yang bisa disebut adalah ; Shadr al Din al Qunawi (w. 887 H/1274 M) dalam ”Miftah al Ghaib”, Abd al Karim al Jilli (767-805 H), Jalal al Din al Suyuthi, dalam “Tanbih al Ghabiy fi Tabri-ah Ibn Arabi”, dan Abd al Wahhab al Sya’rani (w. 1565), dalam “Al Yawaqit wa al Jawahir fi Bayan ‘Aqaid al Akabir” dan “Al Kibrit al Ahmar fi Bayan Ulum al Syeikh al Akbar”. Mereka adalah nama-nama besar dalam dunia mistisisme Islam yang dikenal luas. Tulisan-tulisan Ibnu Arabi didiskusikan dengan apresiatif dan dipuji.

Tetapi pada waktu yang sama dia disumpahserapah dengan penuh kemarahan oleh para pembencinya yang pada umumnya adalah para ahli fiqh dan ahli hadits. Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa karya-karya dan gagasan-gagasan spiritual Ibnu Arabi menjadi sumber inspirasi yang sangat kaya raya dan paling dinamis bagi banyak sufi dan para intelektual terkemuka sesudahnya bahkan sampai hari ini. Pikiran-pikiran al Syeikh al Akbar ini dinilai bagaikan lautan yang tak pernah kering. Suhrawardi, sufi terbunuh, menggambarkannya sebagai “sebuah lautan kebenaran-kebenaran Ilahi”.

Akan tetapi harus segera dikatakan bahwa karya-karya Ibnu Arabi bersifat sangat akademis, filosofis dan begitu canggih, sehingga amat sulit untuk dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Lebih-lebih karya antologi puitiknya, seperti Tarjuman ini, atau“tausyihat”nya. Sedemikian rumitnya memahami karya-karya Ibnu Arabi, sebagian orang meragukan bahwa karya-karyanya tidak dihasilkan dari kesungguhan mental dan intelektual, melainkan dari ilham dan pengalaman mistiknya.
Tarjuman adalah salah satu kumpulan puisi mistisnya yang paling dikenal luas, sekaligus paling sulit diterjemahkan.

Sayang, tidak banyak buku yang mengupas tuntas buku ini. Saya kira hanya pembaca yang amat terpelajar yang sabar dan sudah terlatih dengan kepekaan mendalam dan tinggi pada keilmuan Islam ; teologi, yurisprudensi (fiqh), sejarah dan filsafat yang diharapkan mampu memahami karya-karyanya dengan baik. Pembaca yang terbiasa dengan pemahaman Islam tekstualis dan eksoteris bukan hanya tidak mampu mengapresiasi, melainkan juga sering salah paham, apriori, tersesat, menyesatkan, mengafirkan dan bahkan berusaha membunuhnya. Saya adalah bagian dari orang awam, tetapi saya tidak ingin menyesatkan orang lain apalagi mengkafirkan dan menghalalkan daranya. Saya ingin memahami dengan sebaiknya-baiknya tentang pikiran orang besar ini sejauh yang dapat saya lakukan. Untuk ini saya harus berjalan dengan tertatih-tatih, meletihkan, “menyiksa” dan sangat mungkin gagal.

Gagasan Ibnu Arabi
Gagasan utama sufi besar ini adalah doktrinnya tentang Wahdah al Wujud (kesatuan wujud, Kesatuan Eksistensi) dan Al Insan al Kamil (manusia paripurna) atau Hakikat Muhammadiyyah. Gagasannya yang kedua ini dielaborasi lebih tajam oleh pengagumnya Abd al Karim al Jili. Karya al Jili; “Al Insan al Kamil fi Ma’rifah al Awakhir wa al Awail”, agaknya diinspirasi kuat oleh pikiran-pikiran Ibnu Arabi. Melalui doktrin Wahdah al Wujudnya dia menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya Eksistensi yang riil. Segala hal dalam ruang semesta adalah kenihilan belaka. Lenyap. Tuhan adalah Realitas dalam segala yang wujud. Salah satu ucapannya dalam “Al Futuhat al Makiyyah” yang sering dikutip orang adalah :
فلولاه ولو لا نا لما كان الذى كان
Andai saja tiada Dia
Dan tiada aku
Niscaya tiadalah yang ada
Atau “Wa fi Kulli Syay-in lahu Aayah tadullu ‘ala Annahu ‘Ainuhu”.[2]
“Dan pada segala hal ada tanda yang menunjukkan bahwa ia adalah Dia”

Pada saat lain Ibnu Arabi juga mengatakan :
رأيت الحق فى الاعيان حقا
وفى الاسماء فلم أره سوائى
Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku[3]
Gagasan “wahdah al wujud” ini sejatinya bukan hanya milik Ibnu Arabi, melainkan juga semua sufi terkemuka lainnya. Jauh sebelumnya doktrin ini menjadi corak sufisme Husain Manshur al Hallaj (w. 922 M, sang sufi martir yang legendaris itu. Abu Yazid al Bisthami (w. 261 H/875M), Abu al Qasim al Junaidi al Baghdadi (w. 911 M) dan Abu Hamid al Ghazali (w. 1111) juga menganut atau mendukung paham ini. Jalal al Din al Rumi (w. 1274) adalah sufi legendaris lain sesudah Ibnu Arabi, yang juga fenomenal dengan gagasan ini.[4] Ini untuk menyebut beberapa saja.

Al Hallaj, sufi martir paling fenomenal, misalnya, mengatakan dalam salah satu puisi sufistiknya :
مزجت روحك روحى كما
تمزج الخمرة بالماءالزلال
فإذا مسك شيئ مسنى
فإذ انت انا فى كل شيئ
Ruh-Mu dan ruhku bercampur
Bagai arak dan air
Jika sesuatu menyentuh-Mu,
Ia menyentuku
Engkau adalah aku
Dalam segalanya
Doktrin Wahdah al Wujud adalah puncak doktrin keberagamaan semua kaum sufi besar. Meski dengan bahasa yang berbeda-beda semua sufi terkemuka (Quthb al Awliya) memproklamirkan gagasan ini. Tetapi Ibnu Arabi sangat eksklusif dan sangat istimewa. Pendekatan atas doktrin Wahdah al Wujud nya sangat berbeda dengan para sufi lainnya. Seluruh pemikiran dan doktrin sufismenya diinspirasi atau diilhami oleh perempuan. Meskipun mungkin saja ada sufi lain yang juga mengambil inspirasi yang sama, namun saya kira Ibnu Arabi dalam hal ini sangat menonjol, sebagaimana yang tampak dengan jelas diutarakan dalam karya-karyanya, termasuk dalam buku “Tarjuman al Asywaq” ini.

Buku Tarjuman al Asywaq
Buku Tarjuman al Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan (kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda : Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tidak diketahui secara pasti apakah buku ini ditulis mendahului dua buku besar di atas atau sesudahnya. Meski penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu adalah bahwa dalam buku ini Ibnu Arabi memperlihatkan konsistensi atas gagasan-gagasan besarnya, sebagaimana akan diketahui kemudian.
Tarjuman al Asywaq ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibnu Arabi banyak meiba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”. Dalam pendahuluan buku ini dia menyebut tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al Nisa, saudara perempuan Syeikh Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. Kedua, Qurrah al ‘Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah asyik Tawaf, memutari Ka’bah.
Ibnu Arabi menceritakan sendiri pengalaman pertemuannya dengan perempuan itu:
“Ketika aku sedang begitu asyik tawaf, pada suatu malam, hatiku gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat (al raml), melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih.
ليت شعرى هل دروا أى قلب ملكوا
وفؤادى لو درى أي شعب سلكوا
أتراهم سلموا أم تراهم هلكوا
حار ارباب الهوى فى الهوى وارتبكوا
Aduhai, jiwa yang gelisah
Apakah mereka tahu
Hati manakah yang mereka miliki
O, relung hatiku
Andai saja engkau tahu
Lorong manakah yang mereka lalui
Adakah engkau tahu
Apakah mereka akan selamat
Atau binasa
Para pecinta bingung akan cintanya sendiri
Dan menangis tersedu-sedu[5]

Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutera menyentuh pundakku. Aku menoleh. O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan kalbu. Sungguh betapa asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya begitu terkenal, budinya begitu halus.
Begitu usai menyampaikan syair itu, perempuan itu mengatakan kepadaku :
“Aduhai tuan, kau memesonaku
Engkaulah kearifan zaman”[6]

Selanjutnya mengalirlah dialog antara kedua orang ini dalam suasana mesra, saling memuji, mengagumi dan dengan keramahan yang anggun. Sang perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara spontan atas puisi-puisi Ibnu Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah pada akhirnya dia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah ‘Ain, dia pamit dan melambaikan tangan sambil mengucapkan “salam” perpisahan lalu pergi entah ke mana. Dan Ibnu Arabipun terpana. Katanya: “Tsumma inni ‘araftuha ba’da dzalik wa ‘Aasyartuha. Fara-aiytu ‘indaha min Lathaa-if al Ma’arif ma la yashifuhu waashif” (lalu aku mengenalnya sangat dekat dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini sungguh sangat luar biasa).[7]
Perempuan ketiga yang ditemuinya adalah Sayyidah Nizam (Lady Nizam), anak perawan Syeikh Abu Syuja’. Dia biasa dipanggil “’Ain al Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al Haramain” (guru besar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi begitu terpesona dengan perempuan ini. Pujian-pujian kepadanya terus mengalir deras tak tertahankan: “jika dia bicara semua yang ada jadi bisu, dia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan, wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan keerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja”.[8]

Banyak komentar orang yang menyatakan bahwa buku ini merupakan refleksi-refleksi kontempelatif Ibnu Arabi atas keterpesonaannya yang luar biasa pada perempuan perawan maha elok itu. Keterpesonaan ini sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nizam diungkapkan dengan jelas dalam syairnya dalam buku ini :

طال شوقى لطفلة ذات نثر
ونظام ومنبر وبيان
من بنات الملوك من دار فرس
من أجل البلاد من أصبهان
هى بنت العراق بنت إمامى
وأنا ضدها سليل يمانى
لو ترانا برامة نتعاطى
أكوسا للهوى بغير بنان
هل رأيتم يا سادتى أو سمعتم
أن ضدين قط يجتمعان
والهوى ببيننا يسوق حديثا
طيبا مطربا بغير لسان
لرأيتم ما يذهب العقل فيه
 يمن والعراق معتنقان

Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nizam (pelantun puisi), mimbar dan bayan
Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku ?
O, betapa jauhnya
Moyangku dari Yaman
Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghidangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari
Adakah, kalian, wahai tuan-tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu
Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata
Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan[9]

Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan
Puisi-puisi di atas seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharami) terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizam. Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna. Orang-orang awam memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya. Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah symbol-simbo dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik. Dalam puisi-puisi di atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain kecintaan ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namjun juga secara fisik dan psikis. Katanya : “Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap terhadap skandal dan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.[10]

Akan tetapi para pengagumnya menolak tafsir ini. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi, menurut mereka memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. Katanya suatu ketika : “Kontempelasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Esensi-Nya terlampau jauh dari segala kebutuhan alam semesta. Maka bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontempelasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Refleksi dan kontempelasi Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi seperti ini sebagaimana diungkapkan dalam buku ini rasanya amat sulit dapat dipahami, kecuali dengan membacaSyarh (komentar) yang ditulisnya sendiri : “Al Dzakha-ir wa al A’laq” (simpanan-simpanan dan kerinduan-kerinduan).[11]

Buku komentar ini sengaja ditulis sendiri oleh Ibnu Arabi untuk menjelaskan berbagai kritik dan cacimaki orang (para ahl fiqh) yang ditujukan kepadanya. Mereka menolak puisi-puisi cinta birahi (ghazal), erotis. Ibnu Arabi dalamTarjuman al Asywaqnya yang oleh dia dihubungkan dan dianalogikan dengan cinta kepada Tuhan. Komentar yang ditulisnya di Aleppo, Damaskus, selama tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadhan ini kemudian dibacakan Qadhi Ibnu Adim di hadapan khalayak ahli fiqh. Begitu selesai, para pengkritik kemudian mengakui kesalahannya atau ketidakpahamannya itu dan bertaubat. Meskipun begitu, masih banyak ulama yang menolak kumpulan puisi-puisi mistik ini. Menurut mereka semua puisi ini tidak sesuai dengan pengalaman-pengalaman religious, terlalu erotic, kecabulan dan amat tidak pantas.
Dari buku ini kita akan mengetahui bahwa semua kata-kata dalam puisi-puisinya itu adalah kiasan-kiasan, metafora-metafora, symbol-simbol dan rumus-rumus yang mengandung makna-makna mistis dan sarat dengan hembusan-hembusan spiritualitas ketuhanan yang menukik dan melampaui. Kata “Dzat natsr wa Nizham”, misalnya, merupakan ungkapan tentang Wujud Mutlak dan Sang Pemilik (Pengatur) alam semesta. Kata “mimbar” dimaknai sebagai “martabat-martabat” (tangga-tangga) dalam alam semesta, alam kosmos, metafisika, atau “mimbar alam semesta”, “Bayaan” bermakna “maqam risalah”(tempat kenabian).[12]

Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi selalu memperlihatkan dualisme makna : lahir dan batin, tubuh dan ruh, Ketuhanan dan makrokosmos, teologis dan kosmologis, fisika dan metafisika. Ibnu Arabi mengatakan bahwa semua puisi ini berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuknya, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama-nama dan sifat-sifat perempuan, nama-nama sungai, tempat-tempat dan bintang-bintang.
Adalah menarik untuk menjelaskan kalimat : “ana dhidduha”(aku lawannya) pada syair di atas. Ibnu Arabi mengatakan : “Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran. Ia adalah penyatuan sifat kasar (al qahr) dan kelembutan (al Luthf). Ini mengingatkan kita pada ucapan Abu Sa’id al Jazar : “Dengan cara apakah engkau mengetahui Tuhan?”. Jawabnya adalah dengan penyatuan dua hal yang berlawanan. Ini memang amat sulit untuk dipahami oleh akal, nalar”.[13]

Ya, ini pengalaman spritualitas yang menghanyutkan, sangat ruhaniah dan irrasional. Mungkinkah bahwa ini juga adalah gagasan Ibnu Arabi tentang penyatuan yin dan yang atau Maskulinitas dan Feminitas pada satu sisi, dan tentang “Ittihad” atau “Hulul” pada sisi yang lain?.
Selain tiga nama perempuan di atas, Ibnu Arabi dalam buku ini juga menyebut sejumlah nama perempuan lain : Hindun, Lubna, Sulaima, Salma, Zainab, Laela dan Mayya. Penjelasan Ibnu Arabi terhadap nama-nama perempuan ini, meski juga mengungkapkan kerinduannya kepada mereka, karena mereka adalah nama-nama yang menyejarah dalam kehidupan masyarakat, namun lagi-lagi bagi Ibn Arabi, mereka juga merupakan simbol-simbol kerinduan Ibnu Arabi kepada Tuhan. Tetapi Lady Nizam adalah perempuan yang digilai Ibnu Arabi dan paling mengesankan sepanjang hidupnya. Dia mengatakan : “Seluruh pengetahuan ketuhanan ini berada di balik tirai Nizam, putri guruku yang perawan,Syeikhah al Haramain, maha guru dua tempat suci dan al ‘abidah (pengabdi Tuhan yang tekun)”.[14]

Tampaknya dia ingin mengatakan bahwa pengetahuan tentang ketuhanan(ma’rifah Ilahiyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi pada diri perempuan. Atau, melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam Wujud-Nya yang Maha Sempurna dan Maha Indah. Wallahu A’lam.
Akan tetapi mungkin penting untuk dicatat bahwa dengan penyebutan nama-nama perempuan ini, Ibnu Arabi ingin memperlihatkan juga pandangannya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam arti sebenarnya. Perempuan, katanya dalam Futuhat al Makiyyah, adalah jiwa yang sempurna. Ini adalah “bi hukm al Ashalah” suatu yang asali (aslinya). Antara keduanya memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain. Akan tetapi, meski demikian, keduanya adalah setara (sama) dalam kesempurnaannya. Ini identik dengan makna firman Tuhan “Tilka al Rusul Fadhdhalna ba’dhahum ‘ala ba’dh”(para utusan Tuhan itu satu atas yang lain Aku lebihkan). Dari aspek kerasulannya mereka sama, tidak ada yang lebih unggul. Tetapi dari aspek tugas kerasulannya, memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain”.[15]

 Memang, karena pada saat lain Tuhan juga mengatakan : “La Nufarriqu baina ahad min rusulih” (Kami tidak membeda-bedakan di antara utusan Kami). Ini agaknya merupakan pandangan Ibnu Arabi tentang relasi laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini adalah setara dalam aspek universalitas kemanusiannya, tetapi berbeda dalam tugas kemanusiannya dengan kadar yang relative, tergantung konteks sosialnya. Dalam “Al Futuhat”, Ibnu Arabi menyatakan pandangannya dengan lebih jelas :

إن النساء شقائق الذكران
فى عالم الارواح والابدان
والحكم متحد الوجود عليهما
وهو المعبر عنه بالانسان
وتفرقا عنه بامر عارض
فصل الاناث به من الذكران
Perempuan adalah saudara kandung laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh kasar
Keduanya satu dalam eksistensi
Itulah manusia
Perbedaan antara mereka aksiden semata
Perempuan dan laki-laki memang dibedakan[16]

Tajalla Tuhan dalam Kosmos
Mabuk cinta Ibnu Arabi kepada Sang Kekasih juga diungkapkan dengan menyebut realitas-realitas alam ; burung-burung yang bernyanyi riang, mata rusa yang menatap tajam, sayap-sayap burung merak yang indah bagai pelangi, bunga-bunga yang mekar-mewangi, taman-taman yang teduh nan meriah bagai pelangi, puing-puing yang menggugah rindu dan mabuk kepayang, tempat-tempat persinggahan yang mengingatkan romantisme masa lalu, padang rumput yang terhampar menghijau, angin yang semilir sepoi-sepoi, musim semi yang penuh bunga warna-warni, mega yang berarak, tenang dan teduh, mata air yang mengalir, mata hari yang menghangatkan, rembulan yang bersinar lembut, senja yang temaram dan seterusnya. Dalam waktu yang sama dia juga mengutarakan isi hatinya yang kelu, merindu dan menyinta ; air mata yang menetes satu-satu, pipi perempuan yang ranum, mata yang sendu, luka di relung-relung sanubari, hari-hari perpisahan yang menghancurkan kalbu, canda ria dan celoteh yang menggemaskan, keriangan yang meledak-ledak, pelukan tubuh yang menggairahkan, nyanyi sunyi yang mengiris dan lain-lain. Ini semua diungkapkan Ibnu Arabi dalam buku kompilasi puisi sufistiknya ini.

Kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan filosofis Ibnu Arabi ini menunjukkan bahwa fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah “tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. Fenomena alam semesta dalam pandangannya adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan. “Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. Segala selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”. Di sinilah kita dapat memahami kembali doktrin “Wahdah al Wujud” dari sang “al Kibrit al Ahmar” ini.
Sangat menyenangkan bagi saya untuk mengungkapkan gagasan ini dari seorang murid Ibnu Arabi yang terkenal: Abd al Karim al Jili. Katanya dalam sebuah syair :

تجليت فى الا شياء حين خلقتها
فها هى ميطت عنك فيها البراقع
Engkau menyingkapkan Diri
Dalam segala sesuatu
Ketika Engkau menciptakannya
O, lihatlah
Cadar-cadar itu kini tersingkir[17]

Atau dari Ibnu ِAjibah ketika mengomentari ucapan Wahdah al Wujud nya Ibnu Athaillah. Dalam salah satu syairnya dia mengungkapkan:
أنظر جمالى شاهدا فى كل إنسان
الماء يجرى نافدا فى أس الاغصان
تجده ماء واحدا والزهر ألوان
Lihatlah Keindahan-Ku
Saksi pada semua manusia
Air mengalir,
menembus
pokok dahan-dahan
Engkau temui Dia
Mata air yang Tunggal
Dan bunga merekah
berwarna-warni[18]
Banyak syair Ibnu Arabi yang menjebak pembaca awam pada pemahaman yang amat dangkal. Beberapa di antaranya :
يامن يرانى ولا اراه كم ذا أراه ولا يرانى
Aduhai, Dia yang melihatku
dan aku tidak melihat-Nya
Betapa sering aku melihat-Nya
Dan Dia tidak melihatku
Mendengar syair ini mereka marah. Kata mereka : “Bagaimana Tuhan tidak melihat dia. Ibnu Arabi segera menjelaskannya dengan manis:
يا من يرانى مجرما ولا أراه آخذا
كم ذا أراه منعما ولا يرانى لائذا
Aduhai Dia yang melihatku pendosa
Tetapi aku tidak melihat-Nya marah
Betapa sering aku melihat-Nya pemurah
Meski Dia tidak melihat aku minta ampun
Atau syair yang diungkapkannya pada kesempatan yang lain :
فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده
Dia memujiku, aku memuji-Nya
Dia mengadi padaku, aku mengabdi padanya
Mereka juga marah. Bagaimana mungkin Tuhan menyembah dia. Ibnu Arabi segera menerangkan. Arti “Dia memujiku” adalah Dia senang karena aku taat pada-Nya, dan arti “Dia mengabdi padaku” adalah Dia mengabulkan doaku.
Kesatuan Agama-agama
Pada bagian lain dari buku kompilasi “Tarjuman al Asywaq” ini, kita menemukan pernyataannya yang sering disebut sebagai pandangan “Wahdah al Adyan” (kesatuan agama-agama) dari sang sufi besar ini. Ibnu Arabi menyatakan:
لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثان وكعبة طا ئف
والاواح توراة ومصحف قرآن
أدين بدين الحب اين توجهت
ركا ئبه فالحب دينى وإيما نى
Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an
Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku[19]

Semua penulis dan para pembaca Ibnu Arabi biasanya mengomentari syair-syair di atas sebagai sikap dan pandangan dasar sang gnostik besar ini tentang toleransi dan kesatuan agama-agama. Mereka memahami kata-kata di atas menurut makna literalnya. Pernyataan ini boleh jadi memang benar adanya sebagai konsekuensi lebih lanjut dari doktrin Wahdah al Wujudnya sebagaimana sudah sedikit diurai. Semua penganut agama, dengan nama yang berbeda-beda dan dengan cara peribadatan dan penyembahannya masing-masing, pada hakikatnya hendak mengekspresikan kecintaan kepada Tuhan. Semua pemeluk agama bergerak menuju Tuhan yang satu dan sama itu. Mereka sama-sama mencintai, mendambakan Cinta-Nya, mendekat dan ingin menyatu dalam dekapan-Nya. Karena Dialah Pencipta segala yang ada dan Dia mencintai semuanya.
Jalan dan cara pendakian (manusia) beragam
Tetapi mereka berjalan ke arah kebenaran
Yang Satu
Dan para pendaki jalan kebenaran itu
Mencari jalan sendiri-sendiri
Bahasa kita beragam tetapi Engkaulah
Satu-satunya Yang Maha Indah
Dan masing-masing kita
menuju Sang Maha Indah Yang Satu itu

Para sufi besar selalu mengemukakan hadits Qudsi yang sangat terkenal, tentang alasan Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta. “Kuntu Kanzan Makhfiyyan fa Ahbabtu an ‘Uraf, fa Khalaqtu al Khalq, Fa bihi ‘Arafuni” (Aku adalah Simpanan berharga yang tersembunyi. Aku ingin sekali dikenal. Lalu Aku ciptakan makhluk. Maka dengan itu mereka mengenalku”. Jadi Tuhan menciptakan alam semesta karena dia Mencintai-Nya dan Dia ingin dicinta. Dan Cintalah yang menyatukan segala yang terserak.
Akan tetapi tafsir di atas tidaklah satu-satunya yang bisa dikemukakan. Ibnu Arabi lagi-lagi sebenarnya sedang asyik dimabuk cinta yang menyala-nyala ketika menatap Realitas Yang Tunggal menampakkan diri dalam wujud semesta. Dia mengungkapkan gairah cinta itu dalam kata-kata metaforis yang tak biasa. Ibnu Arabi menggambarkan “hati yang membuka diri bagi realitas-realitas” sebagai hati yang bergerak ke sana kemari dalam merespon “al Tajalliyyat al Iahiyyah”

(Ketersingkapan Kehendak-Kehendak Tuhan) dalam alam semesta yang berwarna-warni dan beragam karakter, sifat dan kehendak. Makna “Padang rumput bagi rusa” baginya merupakan penggambaran hatinya yang lepas dan bebas dalam mencinta, bagai rusa yang bergerak dan berlari-lari di padang rumput yang luas. Ibnu Arabi sengaja menyebut rusa dan bukan binatang yang lain, karena, katanya, meskipun mata kuda lebih lebar, tetapi mata rusa lebih tajam. Dan Mata Tuhan niscaya lebih tajam dari mata siapapun. Dia Melihat yang kasat mata, yang telanjang dan yang tersembunyi di lubuk-lubuk nurani yang pekat dan sunyi senyap. Mengenai kalimat : “Hati adalah rumah berhala-berhala”, dia mengatakan: “Oleh karena Hakikat Yang Dicari (al Haqa-iq al Mathlubah) kepada siapa semua menyembah dan menghambakan diri pada-Nya itu menetap di dalamnya, maka hati disebut ‘watsan’ (yang menetap, yang kokoh). Ibnu Arabi berharap cintanya kepada Tuhan tetap kokoh dan menetap selama-lamanya di relung-relung hatinya yang paling dalam. Dan “oleh karena ruh-ruh luhur (al Arwah al ‘Alawiyyah) mengelilingi hatinya, maka ia dinamai “ka’bah”. Hati yang menerima ilmu-ilmu pengetahuan Musa dari Ibrani (al ‘ulum al Musawiyyah al Ibraniyyah) disebut papan-papan (alwah). Hati yang mewarisi pencerahan kenabian Muhammad (Al Ma’arif al Muhammadiyyah al Kamaliyyah), adalah lembaran-lembaran yang menampung seluruh essensi pengetahuan (Jawami’ al Kalim) bagi hatinya.[20]

Pada akhirnya dia mengatakan : “tidak ada agama yang dipeluk manusia di manapun, setinggi agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan (al mahabbah wa al syauq). Ini adalah agama Muhammad. Dialah sang terkasih dan yang dirindukan sepanjang hari sepanjang malam”.[21]

Sebagaimana selalu dikemukakan para pengaji Tasawuf, bahwa Tuhan mencipta makhluk-Nya karena Dia ingin dikenal (dicintai). Sebelumnya Dia adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Dalam hadits Qudsi disebutkan :
كنت كنزا مخفيا فأحب ان أعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku adalah Perbendaharaan yang Tersembunyi. Aku ingin dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk. Berkat Aku mereka mengenalku”
Demikianlah. Sufi legendaris yang agung ini telah menyenandungkan cintanya kepada Tuhan dengan cara yang memang sangat luar biasa. Dia mabuk kepayang dalam cinta kepada Tuhan, cinta yang membara, bergelora dan menghanyutkan. Cinta apa yang ada di langit dan cinta yang ada di bumi. Dia terserap, luruh dan hilang bentuk dalam rindu dendam kepada-Nya.
Sampai di sini aku tidak bisa berkata apa-apa di hadapan orang besar ini. Lidahku kelu. Tanganku tak sampai. Otakku kandas. Maka aku biarkan sang Syeikh berkelana sendiri ke negeri antah berantah atau ke puncak langit alam semesta, dan biarkanlah aku berdiri di sini, di bumi ini. Betapa rendah.

Siapa Syekh Siti Jenar ?

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.


Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.


Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.


Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.


Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.


Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.


Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:


1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya

2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,

3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara

4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.


Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.


Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.


Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.


KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:


1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….


2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.


3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.


4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“


5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”


Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]

2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]

3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]


Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

"TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG INI , SEMOGA BERMANFAAT"
Klik Follow untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini.

QUOTES PRIE GS


1). “Karena itu, berhati-hatilah pada kelegaan-kelegaan sesaat, sebab ujian-ujian berikutnya tidak sepi menguntit hidup kita.”

2). "Terlalu cepat share, terlalu cepat berkomentar dan... salah! Itulah ejakulasi dini sosial"


3). "Manusia belum manusia sampai orang lain merasakan manfaat keberadaannya"


4). "Jika engkau hendak melucu, gembirakan dulu hatimu. Orang lucu belum tentu gembira tapi pribadi yang gembira akan mudah lucu."


"TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG INI , SEMOGA BERMANFAAT"
*Klik Follow untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini.

QUOTES GUS DUR


1). "Jika kita merasa Muslim Terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang  tidak berpuasa"



2). "Tidak penting apapun agama atau sukumu...
Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang,
Orang tidak pernah bertanya apa agamamu...? "



3). "Kalau anda tidak ingin dibatasi, janganlah anda membatasi.
Kita sendirilah yang seharusnya tahu batas kita masing-masing."



"TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG INI , SEMOGA BERMANFAAT"
*Klik Follow untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini.

QUOTES CAK NUN


1). "Menyepi itu penting,supaya bisa benar-benar mendengar apa yang menjadi isi dari keramaian"

2). "Kalau orang mau bergerak hanya karena pekerjaan itu disukainya, maka kedewasaannya itu          masih setingkat bayi. Kedewasaan ditandai dengan kemauan melakukan hal yang benar, seberat apapun setidak enak apapun asalkan itu bermanfaat bagi masyarakat."



3). "Tuhan tidak tersakiti oleh pengingkaranmu.
      Dia tersakiti jika engkau pura-pura menyembah-Nya"

4). "Jangan mati-matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati"


"TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DI BLOG INI , SEMOGA BERMANFAAT"
*Klik Follow untuk mendapatkan artikel terbaru dari blog ini.

Tuesday, November 7, 2017

RISALAH TALAK

Pengertian Talak Roj’iy
Talak roj’iy adalah talak yang membolehkan suami untuk rujuk ketika masih dalam masa ‘iddah tanpa didahului dengan akad nikah yang baru, walau istri tidak ridho kala itu. Talak roj’i ada ketika talak pertama dan talak kedua. Jika ‘iddah telah selesai pada talak pertama dan kedua, maka jadilah talak ba-in (talak yang tidak bisa kembali rujuk). Jika masih talak pertama dan kedua kala itu suami masih ingin kembali pada istri yang dicerai, maka harus dengan akad nikah baru.
Disyari’atkannya Rujuk
Dalil-dalil yang menyatakan bolehnya rujuk:
Allah Ta’ala berfirman,
ﺍﻟﻄَّﻠَﺎﻕُ ﻣَﺮَّﺗَﺎﻥِ ﻓَﺈِﻣْﺴَﺎﻙٌ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﺃَﻭْ ﺗَﺴْﺮِﻳﺢٌ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik ” (QS. Al Baqarah: 229). Yang dimaksud “ imsak dengan cara yang ma’ruf ” dalam ayat tersebut adalah rujuk dan kembali menjalin pernikahan serta mempergauli istri dengan cara yang baik.
Begitu juga dalam ayat,
ﻭَﺍﻟْﻤُﻄَﻠَّﻘَﺎﺕُ ﻳَﺘَﺮَﺑَّﺼْﻦَ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻦَّ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﻗُﺮُﻭﺀٍ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟَﻬُﻦَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻜْﺘُﻤْﻦَ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﺃَﺭْﺣَﺎﻣِﻬِﻦَّ ﺇِﻥْ ﻛُﻦَّ ﻳُﺆْﻣِﻦَّ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺂَﺧِﺮِ ﻭَﺑُﻌُﻮﻟَﺘُﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﺮَﺩِّﻫِﻦَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺍﺩُﻭﺍ ﺇِﺻْﻠَﺎﺣًﺎ
“ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah ” (QS. Al Baqarah: 228).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa suami yang mentalak istrinya berhak untuk rujuk kepada istrinya selama masa ‘iddahnya dengan syarat ia benar-benar memaksudkan untuk rujuk dan tidak memberi dhoror (bahaya) kepada istri. [1]
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa talak dibolehkan untuk rujuk. Sedangkan untuk talak ketiga (talak ba-in) tidak ada rujuk sebagaimana diterangkan dalam ayat lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻧَﻜَﺤْﺘُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻃَﻠَّﻘْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞِ ﺃَﻥْ ﺗَﻤَﺴُّﻮﻫُﻦَّ ﻓَﻤَﺎ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﻋِﺪَّﺓٍ ﺗَﻌْﺘَﺪُّﻭﻧَﻬَﺎ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya” (QS. Al Ahzab: 49). Talak sebelum disetubuhi dianggap talak ba-in dan tidak ada masa ‘iddah bagi laki-laki kala itu. Rujuk hanya berlaku jika masa ‘iddah itu ada. [2]
Dalil hadits yang menunjukkan boleh adanya rujuk sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika ia mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kala itu ‘Umar mengadukan kasus anaknya lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣُﺮْﻩُ ﻓَﻠْﻴُﺮَﺍﺟِﻌْﻬَﺎ
“ Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali ”[3]
Begitu pula ada ijma’ (kata sepakat) dari para ulama bahwa seorang pria merdeka ketika ia mentalak istrinya kurang dari tiga kali talak dan seorang budak pria kurang dari dua talak, maka mereka boleh rujuk selama masa ‘iddah.
[4]
Hikmah di Balik Disyari’atkannya Rujuk
Rujuk sangat dibutuhkan karena barangkali suami menyesal telah mentalak istrinya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
ﻟَﺎ ﺗَﺪْﺭِﻱ ﻟَﻌَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤْﺪِﺙُ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﻣْﺮًﺍ
“ Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru ” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois, begitu pula pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan Ats Tsauri. [5]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Istri yang dicerai tetap diperintahkan untuk tinggal di rumah suami selama masa ‘iddahnya. Karena bisa jadi suami itu menyesali talak pada istrinya. Lalu Allah membuat hatinya untuk kembali rujuk. Jadilah hal itu mudah”. [6]
Ketika Istri Sudah Ditalak Tiga Kali
Ketika istri sudah ditalak tiga kali, maka haram bagi suaminya untuk rujuk kembali sampai mantan istrinya menikah dengan pria lain dengan nikah yang sah. Allah Ta’ala berfirman,
ﻓَﺈِﻥْ ﻃَﻠَّﻘَﻬَﺎ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺤِﻞُّ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻨْﻜِﺢَ ﺯَﻭْﺟًﺎ ﻏَﻴْﺮَﻩُ
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain ” (QS. Al Baqarah: 230).
Pernikahan yang kedua disyaratkan agar suami kedua menyetubuhi istrinya sehingga dikatakan sah. Sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah disebutkan,
ﺃَﻥَّ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓَ ﺭِﻓَﺎﻋَﺔَ ﺍﻟْﻘُﺮَﻇِﻰِّ ﺟَﺎﺀَﺕْ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺭِﻓَﺎﻋَﺔَ ﻃَﻠَّﻘَﻨِﻰ ﻓَﺒَﺖَّ ﻃَﻼَﻗِﻰ ، ﻭَﺇِﻧِّﻰ ﻧَﻜَﺤْﺖُ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦَ ﺍﻟﺰَّﺑِﻴﺮِ ﺍﻟْﻘُﺮَﻇِﻰَّ ، ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻣَﻌَﻪُ ﻣِﺜْﻞُ ﺍﻟْﻬُﺪْﺑَﺔِ . ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﻟَﻌَﻠَّﻚِ ﺗُﺮِﻳﺪِﻳﻦَ ﺃَﻥْ ﺗَﺮْﺟِﻌِﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺭِﻓَﺎﻋَﺔَ ، ﻻَ ، ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺬُﻭﻕَ ﻋُﺴَﻴْﻠَﺘَﻚِ ﻭَﺗَﺬُﻭﻗِﻰ ﻋُﺴَﻴْﻠَﺘَﻪُ ‏»
“ Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain) [7] ”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu. ”[8]
Hukum Seputar Rujuk dan Talak Roj’iy
1. Rujuk ada pada talak roj’iy (setelah talak pertama dan talak kedua), baik talak ini keluar dari ucapan suami atau keputusan qodhi (hakim).
2. Rujuk itu ada jika suami telah menyetubuhi istrinya. Jika talak itu diucap sebelum menyetubuhi istri, maka tidak boleh rujuk berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya adalah firman Allah Ta’ala ,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻧَﻜَﺤْﺘُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻃَﻠَّﻘْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞِ ﺃَﻥْ ﺗَﻤَﺴُّﻮﻫُﻦَّ ﻓَﻤَﺎ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﻋِﺪَّﺓٍ ﺗَﻌْﺘَﺪُّﻭﻧَﻬَﺎ ﻓَﻤَﺘِّﻌُﻮﻫُﻦَّ ﻭَﺳَﺮِّﺣُﻮﻫُﻦَّ ﺳَﺮَﺍﺣًﺎ ﺟَﻤِﻴﻠًﺎ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah [9] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya ” (QS. Al Ahzab: 49).
3. Rujuk dilakukan selama masih dalam masa ‘iddah. Jika ‘iddah sudah habis, maka tidak ada istilah rujuk –berdasarkan kesepakatan ulama- kecuali dengan akad baru. Karena Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺍﻟْﻤُﻄَﻠَّﻘَﺎﺕُ ﻳَﺘَﺮَﺑَّﺼْﻦَ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻦَّ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔَ ﻗُﺮُﻭﺀٍ
“ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah) ” (QS. Al Baqarah: 228).
Kemudian Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺑُﻌُﻮﻟَﺘُﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﺮَﺩِّﻫِﻦَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺍﺩُﻭﺍ ﺇِﺻْﻠَﺎﺣًﺎ
“ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah ” (QS. Al Baqarah: 228).
Yang namanya rujuk adalah ingin meneruskan kepemilikan (istri). Kepemilikan di sini putus setelah berlalunya masa ‘iddah dan ketika itu tidak ada lagi keberlangsungan pernikahan.
4. Perpisahan yang terjadi sebelum rujuk bukanlah karena nikah yang batal karena faskh. Seperti nikah tersebut batal karena suami murtad.
5. Perpisahan yang terjadi bukan karena hasil dari membayar kompensasi seperti dalam khulu’ (istri menuntut cerai di pengadilan dan diharuskan membayar kompensasi).
6. Rujuk tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu sesuai kesepakatan suami-istri, semisal rujuk nantinya setelah 8 tahun. Sebagaimana nikah tidak bisa dengan syarat waktu sampai sekian bulan, begitu pula rujuk.
Tidak Disyaratkan Ridho Istri Ketika Suami akan Rujuk
Perlu dipahami bahwa rujuk menjadi hak suami selama masih dalam masa ‘iddah, baik istri itu ridho maupun tidak. Karena Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺑُﻌُﻮﻟَﺘُﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﺮَﺩِّﻫِﻦَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺍﺩُﻭﺍ ﺇِﺻْﻠَﺎﺣًﺎ
“ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah ” (QS. Al Baqarah: 228).
Dan hak rujuk pada suami ini tidak bisa ia gugurkan sendiri. Semisal suami berkata, “Saya mentalakmu, namun saya tidak akan pernah rujuk kembali”. Atau ia berkata, “Saya menggugurkan hakku untuk rujuk”. Seperti ini tidak teranggap karena penggugurannya berarti telah merubah syari’at Allah. Padahal tidak boleh seorang pun mengubah syari’at Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyebutkan,
ﺍﻟﻄَّﻠَﺎﻕُ ﻣَﺮَّﺗَﺎﻥِ ﻓَﺈِﻣْﺴَﺎﻙٌ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﺃَﻭْ ﺗَﺴْﺮِﻳﺢٌ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik ” (QS. Al Baqarah: 229).
Dalam rujuk tidak disyaratkan ridho istri. Karena dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
ﻓَﺄَﻣْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ
“ Maka rujukilah mereka dengan baik ” (QS. Ath Tholaq: 2). Dalam ayat ini hak rujuk dijadikan milik suami. Dan Allah menjadikan rujuk tersebut sebagai perintah untuk suami dan tidak menjadikan pilihan bagi istri.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Wajib rujuk jika suami mentalak istrinya ketika haidh sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat dan akan dijelaskan detail pada masalah talak bid’iy.
2. Rujuk tidak disyaratkan ada wali dan tidak disyaratkan mahar. Rujuk itu masih menahan istri sehingga masih dalam kondisi ikatan suami-istri.
3. Menurut mayoritas ulama, memberi tahu istri bahwa suami telah kembali rujuk hanyalah mustahab (sunnah). Seandainya tidak ada pernyataan sekali pun, rujuk tersebut tetap sah. Namun pendapat yang hati-hati dalam hal ini adalah tetap memberitahu istri bahwa suami akan rujuk. Karena inilah realisasi dari firman Allah,
ﻓَﺄَﻣْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ
“ Maka rujukilah mereka dengan baik ” (QS. Ath Tholaq: 2). Yang dikatakan rujuk dengan cara yang ma’ruf adalah memberitahukan si istri. Tujuan dari pemberitahuan pada istri adalah jika si istri telah lewat ‘iddah, ia bisa saja menikah dengan pria lain karena tidak mengetahui telah dirujuk oleh suami.
4. Ketika telah ditalak roj’iy, istri tetap berdandan dan berhias diri di hadapan suami sebagaimana kewajiban seorang istri. Karena ketika ditalak roj’iy, masih berada dalam masa ‘iddah, istri masih tetap istri suami. Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺑُﻌُﻮﻟَﺘُﻬُﻦَّ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﺮَﺩِّﻫِﻦَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺍﺩُﻭﺍ ﺇِﺻْﻠَﺎﺣًﺎ
“ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah ” (QS. Al Baqarah: 228). Dandan dan berhias diri seperti ini tentu akan membuat suami untuk berpikiran untuk rujuk pada istri.
Cara Rujuk
1. Rujuk dengan ucapan
Tidak ada beda pendapat di antara para ulama bahwa rujuk itu sah dengan ucapan. Seperti suami mengatakan, “ Saya rujuk padamu ” atau yang semakna dengan itu. Atau suami mengucapkan ketika tidak di hadapan istri dan ia berkata, “Saya rujuk pada istriku ”.
Lafazh rujuk ada dua macam: (1) shorih (tegas), (2) kinayah (kalimat samaran).
Jika lafazh rujuk itu shorih (tegas) seperti kedua contoh di atas, maka dianggap telah rujuk walau tidak dengan niat. Namun jika lafazh kinayah (samaran) yang digunakan ketika rujuk seperti, “ Kita sekarang seperti dulu lagi ”, maka tergantung niatan. Jika diniatkan rujuk, maka teranggap rujuk.
2. Rujuk dengan perbuatan
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa dengan melakukan jima’ (hubungan intim) dan melakukan muqoddimahnya (pengantarnya) seperti mencium dengan syahwat baik diniatkan rujuk atau tidak, maka rujuknya teranggap. Ada juga ulama yang mensyaratkan harus disertai niat dalam jima’ dan muqoddimah tadi. Ada yang berpendapat pula bahwa rujuk adalah dengan jimak saja baik disertai niat atau tidak. Dalam pendapat yang lain, rujuk itu hanya teranggap dengan ucapan, tidak dengan jima’ dan selainnya.
Pendapat yang pertengahan dalam masalah ini adalah rujuk itu teranggap cukup dengan jima’ namun dengan disertai niat. Inilah pendapat Imam Malik, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Alasannya karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
Apakah Rujuk Butuh Saksi?
Allah Ta’ala berfirman,
ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺑَﻠَﻐْﻦَ ﺃَﺟَﻠَﻬُﻦَّ ﻓَﺄَﻣْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﺃَﻭْ ﻓَﺎﺭِﻗُﻮﻫُﻦَّ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﻭَﺃَﺷْﻬِﺪُﻭﺍ ﺫَﻭَﻱْ ﻋَﺪْﻝٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ
“ Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu ” (QS. Ath Tholaq: 2).
Yang rojih –pendapat terkuat- dalam hal ini adalah rujuk tetap butuh saksi bahkan diwajibkan berdasarkan makna tekstual dari ayat. Inilah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i yang lama, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [10]
Talak Roj’iy Mengurangi Jatah Talak
Sudah kita ketahui bahwa batasan talak adalah tiga kali. Jika seseorang telah mentalak istri sekali, maka masih tersisa kesempatan dua kali talak. Jika suami itu rujuk, maka tidak menghapus talak yang terdahulu. Allah Ta’ala berfirman,
ﺍﻟﻄَّﻠَﺎﻕُ ﻣَﺮَّﺗَﺎﻥِ ﻓَﺈِﻣْﺴَﺎﻙٌ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﺃَﻭْ ﺗَﺴْﺮِﻳﺢٌ ﺑِﺈِﺣْﺴَﺎﻥٍ
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. ” (QS. Al Baqarah: 229) [11]
Pembahasan ini masih berlanjut pada pembahasan talak ba-in. Semoga Allah memudahkan bagi kami untuk menyusunnya.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 16 Jumadats Tsaniyah 1433 H

Monday, November 6, 2017

Aku pengemis ridho-Mu

Bunyi piagam yang berhasil disepakati oleh hawa nafsu dan akal logikamu...
"Menghampiri NIKMAT menjauhi SENGSARA"
Tetapi hatimu belum tentu selalu setuju..
Kesendirian hatipun berteriak kerass dalam kebisuan...
Tuhanku aku mengemis ridho-Mu...
Aku tak ingin nikmat,
seperti aku tak ingin sengsara...
Aku pengemis ridho-Mu..
Aku tak sanggup memandang-Mu...
Tetapi Engkau izinkan aku bermesraan dengan Sifat-Mu...
Peluklah aku Ya Rohman...
Ampuni segala tingkah hidupku yang membatalkan ridho-Mu
amiin